SEKOLAH sebaiknya membuat kurikulum darurat di tengah pandemi Covid-19 mengenai penguatan karakter.
“Ada tiga penguatan karakter yang penting dilakukan, yaitu karakter kepedulian, hidup sehat, dan relijius,” kata Iman Sumarlan, SIP, MHI, Direktur Pegiat Pendidikan Indonesia (PUNDI).
Pandemi Covid-19 yang sudah mewabah selama satu tahun di Indonesia, dikatakan Iman Sumarlan, tentu memberikan dampak bagi masyarakat.
Berkaitan hal itu, Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta sebagai Perguruan Tinggi Muhammadiyah-‘Aisyiyah (PTMA) ikut serta mengupayakan kegiatan pendidikan agar tetap berjalan. Meski dengan pembelajaran dalam jaringan (daring).
Proses kuliah dan berbagai kegiatan pun dialihkan melalui daring sebagai upaya menekan penyebaran Covid-19.
Pembelajaran daring memaksa pendidik dan peserta didik untuk melek akan internet. Aplikasi seperti Google Classroom, Zoom, Google Meet dan fitur pendukung lainnya dapat dimanfaatkan menjadi media pembelajaran.
“Namun jangan dikira, itu semua dapat berjalan dengan mudah,” tandas Iman Sumarlan.
Menurutnya, adaptasi tentu perlu dilakukan. Terlebih, pembelajaran daring memaksa setiap siswa memiliki gawai yang canggih. “Selain itu, uang kuota pun terus bertambah,” tandasnya.
Ketika menjadi pembicara dalam seminar daring Latihan Kepemimpinan Manajemen Mahasiswa (LKMM) yang diselenggarakan Kelompok 3 LKMM Dasar UAD secara daring pada Ahad (21/3/2021), Iman mengatakan bahwa sejak pembelajaran dilakukan, peserta didik tidak dapat berinteraksi secara langsung.
“Hal ini membuat ruang sosial mereka semakin sempit,” terangnya.
Penugasan yang terlalu berat dengan waktu pengerjaan yang singkat, jam belajar yang kaku dan monoton, akses internet yang susah dan efektivitas pemahaman materi yang diterima, menjadi salah satu problematika pembelajaran daring.
Adanya pembelajaran daring, dikatakan Iman, menjadikan penanaman karakter pada peserta didik menjadi kurang maksimal. “Sekarang ini, peserta didik lebih fokus menatap layar gawai dan laptopnya,” ungkap Iman.
Selain itu, memang tidak diperbolehkan untuk berkerumun. Dan peserta didik menjadi dibatasi dalam bersosial, yang berakibat terhambatnya pada pembentukan karakter. (Fan)