KOMISI Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM telah mengirimkan surat kepada presiden Jokowi, Komisi I dan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) guna meminta penundaan pembahasan Perpres tentang pelibatan TNI dalam menangani terorisme.
“Ada sejumlah subtansi yang bermasalah salah satunya adalah pasal 2 dalam Perpres itu. Utamanya soal penangkalan, karena bisa terjadi tumpang tindih dengan lembaga lain yaitu BIN, BNPT, Polri,” demikian dikatakan Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, dalam acara webinar bertajuk “Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dan Pelibatan TNI dalam Penanganan Terorisme” yang diadakan jurusan administrasi publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah, bekerjasama dengan MARAPI Consulting & Advisory, Kamis 19 November 2020.
Hadir juga dalam acara tersebut sebagai pembicara, Direktur Pascasarjana Diplomasi Universitas Paramadina Dr. Phil. Shiskha Prabawaningtyas dan akademisi Prodi Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Tadulako Dr. M. Nur Alamsyah.
Menurut Choirul Anam, fungsi penangkalan erat kaitannya dengan mencari informasi dan melakukan analisa. Hal itu tentu akan menabrak kewenangan lembaga
negara yang punya fungsi penangkalan tersebut.
“Bahkan fungsi penangkalan jika dilakukan TNI dalam penanganan terorisme justru dapat menganggu profesionalitas TNI itu sendiri,” tegasnya.
Dijelaskannya, ada sejumlah subtansi yang bermasalah dalam Perpres tersebut. Salahsatunya adalah pasal 2. Utamanya soal penangkalan karena bisa terjadi tumpang tindih dengan lembaga lain yaitu BIN, BNPT, Polri.
Berikutnya, lanjut Choirul Anam, fungsi pemulihan juga cenderung bermasalah. Seperti diketahui sebenarnya ini merupakan kewenangan lembaga negara yaitu BNPT dan LPSK yang melindungi korban teror dan lainnya.
“Perpres ini kelihatan sapu jagat yaitu mengurusi semua persoalan yang sebenarnya sudah ada lembaga yang berwenang dalam soal penangkalan dan pemulihan. Sehingga Komnas HAM merekomendasikan pelibatan TNI hanya pada penindakan. Karena TNI memiliki kapasitas dengan pasukan khususnya dalam melakukan tindakan koersif pada kelompok teroris. Artinya pelibatan TNI hanya bersifat ad hoc, terbatas pada skala tertentu dan batas waktu tertentu,” pungkas Choirul Anam.
Sementara itu, Dr Phil Shiskha Prabawaningtyas mengatakan, pemberlakuan Perpres tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme sebaiknya ditunda. Karena masih ada “hole” atau belum selesai RUU Perbantuan TNI dan Peradilan Militer.
“Selesaikan RUU Perbantuan Militer dan Peradilan Militer terlebih dahulu untuk menjamin kepercayaan publik,” kata Dr Phil. Shiskha.
Dirinya menyebut, akan ada potensi benturan kepentingan (clash of intetest) dan dominasi politik praktis atas hukum (rule of law) Pada Pasal 1 (criminal justice system vs war-military operation) jika Perpres itu diberlakukan.
Ditempat yang sama, akademisi Prodi Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Tadulako Nur Alamsyah mengatakan, karakteristik militer sebagai alat kekerasan negara apapun caranya menjadi pilihan negara.
“Implikasi sebagai alat kekerasan inilah bisa menerobos beberapa hal yang bisa saja keluar dari kontek demokrasi, dimana ada sebagai landasan masyarakat sipil. Karena itulah hal inilah menjadi tantangan terberat soal keberadaan Perpres ini,” ujar Nur Alamsyah. (kuf/fia)
Discussion about this post