LEMBAGA Bantuan Hukum (LBH Kesehatan, Indonesia Audit Watch (IAW), PETISI 28 dan Insitut Ekonomi Politik Soekarno Hatta kemarin Selasa, 9 November 2021, resmi menyerahkan dokumen agar Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) melakukan audit investigasi terkait PCR.
Pendiri LBH Kesehatan Iskandar Sitorus meminta BPK agar menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai auditor keuangan negara yang telah digunakan untuk PCR.
“Test PCR terus dikritik publik karena harga tinggi. Yang semula secara umum untuk sekali tes dikisaran Rp 2,5 juta terus berulang berubah ubah sampai dengan harga dikisaran Rp 275 ribu.
Perubahan-perubahan harga ini bisa menjadi salah satu pintu bagi auditor keuangan negara sebab menjadi bahan untuk mencocokkan terhadap pemeriksaan penggunaan dana Covid-19 yang diperuntukkan untuk biaya tes PCR,” jelasnya saat dihubungi InilahJogja.com Rabu 10 November 2021.
Menurutnya, selain dari selisih harga yang tinggi, entitas tersebut tentu sebagaimana lazimnya didunia bisnis akhirnya bisa mendepat valuasi. Baik karena performa kinerja bisnisnya, kontrak-kontraknya maupun kerelasiannya.
“Penyelenggara negara dan atau pengguna uang negara dibawah level Presiden menata kelola tes PCR dengan kewenangan yang sesungguhnya pantas untuk dikaji/ dianalisa. Karena hal tersebut tidak pantas dilakukan,” tegasnya.
Dijelaskan pria bertubuh kecil ini, karena hal seperti itu tidak lazim di negara lain. Akibat dari produk kewenangan yang menggiring mobilisasi uang publik mengakibatkan hilangnya potensi penggunaan uang masyarakat untuk keperluan lain sekitar Rp 23 triliun menjadi digunakan membiayai tes PCR.
“Uang sebesar itu sangat signifikan jikalau dipergunakan rakyat untuk membantu perekonomiannya. Bukan malah terkonsentrasi pengumpulannya ditangan sekelompok entitas korporasi,” demikian ayah dari dua anak ini. (jal/lif)