AKTIVIS mahasiswa ’98 yang juga Koordinator Nasional Poros Benhil Aznil Tan menegaskan jika dirinya bukanlah seorang pengemis jabatan dan bukan “kaleng-kaleng”.
Diketahui, Poros Benhil merupakan salah satu organ relawan pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin pada Pilpres 2019 lalu.
Aznil juga meluruskan kabar yang menyebut dirinya “gagal” dalam assesment yang diadakan oleh Kantor Staf Presiden atau disingkat KSP. Dia menegaskan, jika dia dan sejumlah rekannya aktivis ’98 bukan melamar kerja di KSP. Namun, kami diminta oleh Kepala KSP Moeldoko.
Pria berdarah Minang ini menceritakan, kejadian bermula tatkala dirinya bersama empat aktivis ’98 lainnya yakni Wahab Talaohu, Sayed Junaidi Rizaldi alias Pak Cik, Eli Salomo, Ali Sutera datang menemui Kepala KSP Moeldoko di Bina Graha pada tanggal 21 November 2019 lalu.
“Bahwa tanggal 21 November 2019 saya dan Wahab Talaohu, Pak Cik, Eli Salomo, Ali Sutera, menemui Moeldoko di Bina Graha untuk menjalin komunikasi dalam rangka menindaklanjuti pernyataan Bapak Presiden Jokowi membuka kesempatan kepada para Aktivis 98 sebagai pelaku sejarah reformasi Indonesia untuk turut memajukan Indonesia Maju,” kata Aznil Kamis 30 Januari 2020.
Dari hasil pertemuan yang hanya berlangsung sekitar 10 menit tersebut, Moeldoko meminta 2 orang dari kami sebagai Tenaga Ahli Utama untuk turut membantu KSP. Moeldoko kata Aznil, dalam kesempatan itu uga mengatakan bahwa posisi Deputi di KSP sudah penuh.
“Kemudian Wahab dan Eli Salomo menegaskan kembali ke Moeldoko. Sebagai Tenaga Ahli Utama kan bang Jenderal?. Kemudian Moeldoko mengiyakan konfirmasi Wahab dan Eli Salomo tersebut,” ujar Aznil.
Pria berperawakan kurus kecil ini melanjutkan, setelah mendapat konfirmasi serta kepastian dari Moeldoko kemudian teman-teman sepakat merekomendasikan Sayed Junaidi Rizaldi dan saya untuk mengisi posisi sebagai Tenaga Ahli Utama di KSP.
Pada hari Kamis tanggal 11 Desember 2019, menurut Aznil, pihak tim SDM KSP melalui WhatsApp meminta kami untuk hadir mengikuti seleksi pada tanggal 18 Desember 2019.
“Kami merasa pemberitahuan itu terasa janggal karena kami bukan melamar sebagai karyawan KSP. Dan kami juga tidak pernah memasukkan surat lamaran kerja ke KSP,” kata dia.
Meskipun begitu, masih menurut Aznil, kami tetap berpikiran positif thinking mengikuti proses formalitas tersebut. Sebab, ketika saya konfirmasi ke pihak tim seleksi mereka mengatakan bahwa test seleksi tersebut hanya menyangkut tentang seputar latar belakang kami.
Kemudian, pada tanggal 18 Desember 2019 kami datang mengikuti seleksi ala KSP tersebut yang terdiri-dari 2 sesi. Yaitu tertulis dan wawancara. Ketika kami mengikuti tes tertulis, pada lembaran soal ada tulisan berbunyi “Seleksi Tenaga Ahli Madya Deputi IV KSP dengan target posisi Tenaga Ahli Bidang HAM.”
“Melihat kejanggalan tersebut saya dan Pak Cik sempat mempertanyakan kepada salah seorang tim seleksi dan bermaksud untuk tidak mengikuti proses seleksi. Karena, hal tersebut tidak sesuai dengan komitmen awal Moeldoko meminta kami untuk menjadi Tenaga Ahli Utama di KSP,” tegas Aznil.
Saat itu salah satu tim seleksi menyarankan kami untuk nanti mempertanyakannya sewaktu sesi wawancara dan beliau sendiri mengaku tidak tahu tentang hal itu. “Kami pun kembali berpositif thinking dan mengikuti tes tertulis tersebut yang berisi pertanyaan bersifat politik”
Ketika memasuki sesi tanya jawab pada tanggal yang sama, Sayed Junaidi Rizaldi maupun saya (secara terpisah) langsung mempertanyakan hal tersebut secara tegas kepada tim seleksi yang berjumlah 6 orang.
Mereka mengatakan akan melakukan konfirmasi ke Moeldoko. Lalu mereka bertanya, “Jika Tenaga Ahli Utama sudah tidak terisi penuh, apakah kami bersedia ditempatkan sebagai Tenaga Ahli Madya ?”
“Saya maupun Sayed Junaidi Rizaldi dengan tegas menolak. Karena kami datang bukan melamar pekerjaan ke KSP. Bahwa kami datang ke KSP karena kami diminta oleh Moeldoko untuk membantu KSP sebagai Tenaga Ahli Utama,” jelasnya.
Aznil menegaskan, bahwa dirinya dan aktivis 98 lainnya bukanlah pengemis jabatan dan “kaleng-kaleng” seperti apa yang telah dituduhkan banyak pihak. Dia juga, membantah jika dirinya hanya relawan abal-abal.
“Isu seperti itu sengaja dihembuskan untuk melemahkan ketika kekritisan saya mengungkap ketidakbecusan Moeldoko dalam pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin. Dan kami sebagai aktivis ’98 sudah kenyang dengan pola-pola seperti itu,” pungkas Aznil Tan. (dahlia)