WAKIL Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur menyatakan, DPR seharusnya menolak pembahasan rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) tentang pelibatan TNI dalam penanganan aksi terorisme.
Isnur juga meminta Presiden untuk tidak menandatangani rancangan tersebut. Pernyataan ini disampaikan pada Webinar dengan tema “Raperppres Pelibatan TNI Dalam Kontra Terorisme.” yang di selenggarakan MARAPI Consulting & Advisory bekerjasama dengan Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Mataram pada Kamis 26 November 2020.
Lebih lanjut ia menyatakan, pemerintah perlu merumuskan kembali draft rancangan tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk perguruan tinggi yang concern terhadap masalah terorisme danr masyarakat sipil yang selama ini bekerja dalam penanganan kekerasan ekstrem.
“Sangat dibutuhkan upaya sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundangan-undangan, sehingga aturan yang lahir selaras dengan aturan yang telah ada sebelumnya dan tidak mengalami tumpang tindih,” ungkap Isnur
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin dalam paparannya menyatakan rancangan Perpres pelibatan TNI harus memperhatikan UU No 5./2018 Tentang Tindak Pidana Penanggulan Terorisme sebagai UU yang mengedepankan pendekatan penegakan hukum pidana (criminal justice system) sebagai landasan utama, bukan pendekatan militer.
Sayangnya, menurut Amiruddin Rancangan Perpres yang dibuat berdasarkan UU No 5/2108 Pasal 43 (i), isinya justru bertolak belakang dengan pendekatan penegakan hukum pidana dalam UU tersebut.
“Raperpres ini lebih mengedepankan operasi militer dengan memasukan penangkalan, penindakan dan pemulihan yang merujuk kepada UU No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Padahal menurut U No 5/2018, aspek pencegahan bisa dilakukan oleh BNPT dan Lembaga negara lainnya sebagai upaya preventif. Sehingga Ketika Rancangan Perpres mencantumkan tiga fungsi di atas, maka otomatis bertabrakan dengan penegakan hukum yang ada di dalam UU No 5/2018,” ucapnya.
Amiruddin menyimpulkan, rancangan ini dibuat dengan mengacu pada pendekatan operasi militer.
“Saya mengusulkan rancangan Perpres hanya mengatur aspek penindakan saja. Maka Perpres harus dibuat seterang-terangnya dan sejelas-jelasnya soal kategori atau koridor penindakan yang boleh dilakukan oleh TNI apa saja. Sehingga dibuat lebih clear dan tidak sumir, agar TNI yang bertindak tidak ragu-ragu dalam melaksanakan tugas OMSP dalam menghadapi terorisme,” ungkap Amiruddin.
Sementara itu, Syaiful Anam, akademisi Hubungan Internasional Universitas Mataram, (UNRAM) Nusa Tenggara Barat sebagai salah satu pembicara merekomendasikan tiga hal dalam perluasan peran TNI dalam penanggulangan terorisme.
Pertama, perannya harus dilakukan dalam kerangka supremasi sipil dan demokrasi serta tidak mengganggu jalannya reformasi sektor keamanan.
Kedua, Perluasan Peran juga harus didasarkan pada penilaian terhadap intensitas ancaman (threat assessment) yang dilakukan oleh otoritas sipil diikuti oleh Keputusan politik untuk menggunakan kekuatan TNI.
Terakhir, Penggunaan kekuatan militer dalam penanggulangan terorisme harus dijamin agar bersifat sebagai solusi akhir (last resort), sementara (ad-hoc) dan dilakukan secara proporsional. (gaf/fua)
Discussion about this post