BEKERJA sama dengan Joglo Balai Agung Cendana, Semaki, Yogyakarta, Universitas Ahmad Dahlan (UAD) melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) mengadakan pelatihan batik tulis dan teknologi pewarna alami, sekaligus juga pencanangan masalah pemasaran melalui website, Senin (14/6/2021).
Program yang diinisiasi Dr Ir Zahrul Mufrodi, ST, MT, IPM selaku ketua dengan anggota Bambang Robi’in, ST, M.Eng dan Rachma Tia Evitasari, ST, M.Eng bertujuan untuk meningkatkan kapasitas produksi dan branding produk batik tulis pewarna alami pada Balai Agung Cendana Batik Tulis Yogyakarta.
“Sekaligus memulihkan perekonomian masyarakat di masa pandemi Covid-19,” kata Zahrul Mufrodi, didampingi Kepala LPPM UAD Anton Yudhana, Ph.D.
Saat ini, tim dari UAD Yogyakarta juga mengembangkan proses mordanting menggunakan kitosan (kulit udang) sehingga ramah lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian, penambahan kitosan akan meningkatkan warna yang terserap pada kain sehingga warna yang dihasilkan pun akan menjadi lebih gelap.
Selain itu, penggunaan kitosan akan meningkatkan penyerapan zat warna ke dalam kain. “Diharapkan proses pewarnaan menjadi lebih cepat dan tidak memerlukan pencelupan berkali-kali,” jelas Zahrul.
Batik yang banyak beredar di masyarakat saat ini adalah batik dengan pewarna sintetis atau naphtol. “Limbah air dari penggunaan naptol dapat mencemari air dan lingkungan,” tandas Zahrul, yang menambahkan berbeda dengan batik dengan pewarna alami yang memiliki warna yang unik dan kalem.
Selain itu, lanjut Zahrul, pewarna alami umumnya merupakan zat antioksidan aktif. “Penyuluhan dan pelatihan ini bertujuan agar para perajin batik paham soal proses-proses yang terjadi pada pewarnaan kain,” ungkap Zahrul.
Untuk mendapatkan warna pada kain proses yang dilalui, disampaikan Zahrul, tidak hanya mencelupkan kain ke dalam pewarna. “Ada proses awal dengan menambahkan bahan mordan yang berfungsi untuk menjembatani kain dengan pewarna alami,” terangnya.
Umumnya, mordan yang digunakan adalah mordan logam seperti tawas, tunjung dan kapur. Setelah proses pramordanting, kain baru dicelupkan ke dalam pewarna. “Proses ini harus dilakukan beberapa kali agar mendapatkan warna yang diinginkan,” kata Zahrul.
Menurutnya, proses yang terakhir yaitu fiksasi dengan mordan, untuk mengunci warna pada kain agar tidak mudah luntur. “Pewarna alami sesuai namanya didapatkan dari bahan alam, utamanya dari tumbuh-tumbuhan, baik dari bagian kayu, kulit kayu, akar, daun maupun bunga,” kata Zahrul.
Namun, tidak semua pewarna alami dapat digunakan sebagai pewarna kain. Dan sumber zat warna alami yang bisa digunakan antara lain mahoni, jalawe, teger, jambal dan tingi yang memberikan warna kecoklatan atau sogan. “Serta kayu secang yang memberikan warna merah muda,” ungkap Zahrul.
Pembuatan kain batik menggunakan pewarna alami ini tidak tanpa kendala. Zat warna alami cenderung memiliki kekuatan ikat ke kain katun yang rendah.
“Sehingga proses produksi tidak sepraktis menggunakan zat warna sintetis,” papar Gusti Kanjeng Bendara Raden Ayu Adipati Paku Alam X, yang mengapresiasi UAD Yogyakarta ketika menginisiasi proses mordanting dengan kitosan agar pembuatan batik lebih ramah lingkungan.
Sebagai negara dengan ratusan etnik dan ribuan suku bangsa, disampaikan Wakil Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) DIY, Indonesia memiliki beragam kain tradisional atau wastra yang menjadi kekayaan nusantara. “Keberadaan wastra nusantara termasuk batik tulis sebagai kekayaan bangsa ini perlu dijaga, dilestarikan dan dikembangkan,” kata GKBRAA Paku Alam X, yang akrab disapa Gusti Putri.
Permaisuri Kadipaten Pakualaman Yogyakarta ini dikenal konsisten dan gigih melestarikan batik dan wastra nusantara lainnya. Tidak hanya selalu mengenakan kain batik dan kebaya saat tampil di depan publik. Ia bahkan sejak 2009 melahirkan motif batik baru yang terinspirasi dari naskah kuno Pakualaman.
“Bagi suatu bangsa kehilangan kain tradisional itu sama seperti kehilangan satu tradisi. Karena itu, kita tidak boleh tinggal diam dan harus terus maju, jangan sampai kain tradisional kita diklaim bangsa lain,” jelas GKBRAA Paku Alam X di depan Utik Bidayati SE, MM (Wakil Rektor UAD Bidang Keuangan, Kehartabendaan dan Administrasi Umum), Komaru dari Kemantren Umbulharjo, Lurah Semaki Sigit Kusuma Atmaja, SS, MBA, Sulasmi, SIP, MSi dan Didik Setiadi, keduanya mantan Lurah Semaki.
Pada kesempatan itu, GKBRAA Paku Alam X juga menyampaikan panjang lebar mengenai batik, khususnya parang barong, ceplok, purbonegoro dan nitik.
Dijelaskan pengelola Joglo Balai Agung, pada tahun 2008 GKR Hemas yang memberi nama Joglo Balai Agung Cendana RW 07 Semaki Yogyakarta. Dan selama 14 tahun, baru kali ini bekerjasama dengan UAD Yogyakarta. “Ini adalah momentum besar,” ungkap Ir Setya Wawan Edi Dayanto, BSc.
Ketua RW 007 Semaki ini menerangkan, di wilayahnya adalah tempat “jujugan” untuk melestarikan budaya dengan cara membatik Keraton Yogyakarta. “Khususnya pelatihan batik tulis dan teknologi pewarnaan alami,” kata Wawan Edi, yang menambahkan di tempat itu tidak dipungut biaya satu rupiah pun.
Menurut Wawan, hadirnya Teknik Kimia UAD ke depan bisa mengubah dalam soal pewarnaan alami. Saat ini satu warna mencapai Rp 350 ribu untuk sebanyak 8 kg. Dan tiga warna bisa Rp 700-850 ribu.
Wakil Rektor UAD Bidang Keuangan, Kehartabendaan dan Administrasi Umum, Utik Bidayati, SE, MM, mengatakan, selama dua tahun ini masyarakat tidak bisa berkarya dan beraktifitas dikarenakan pandemi Covid-19. “Kerjasama yang butuh waktu dua tahun ini diharapkan bisa memberdayakan masyarakat,” ungkap Utik.
Program ini, dikatakan Utik, bisa meningkatkan dan memberdayakan masyarakat agar wilayah menjadi kuat. “Untuk itu kerjasama antarbidang dan lembaga perlu digalakkan,” tandas Utik, yang menambahkan melalui agenda lain kerjasama ini akan memberikan manfaat bagi masyarakat.
Ke depannya, seperti disampaikan Utik, perlu sinergi luar biasa untuk menghasilkan batik yang baik. Juga membangun komunikasi dengan pihak luar secara online, mengenalkan batik dengan warna dan motif yang khas untuk digaungkan di tingkat nasional dan internasional. “Tak kalah pentingnya menghasilkan produk yang berkualitas,” kata Utik. (Fan)