Suara Muhammadiyah bersama Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah bertempat di Aula Lantai 4 Grha Suara Muhammadiyah, Jl KH Ahmad Dahlan Yogyakarta, adakan bedah buku “Parmusi: Pergulatan Muhammadiyah dalam Partai Politik 1966-1971” karya Ridho Al-Hamdi (Ketua LHKP PP Muhammadiyah), Selasa (19/11/2024).
Dalam acara yang dipandu Muhammad Ridho menampilkan Dr phill Ridho Al-Hamdi, MA (penulis), Prof Dra Siti Syamsiyatun, MA, Ph.D (Guru Besar UIN Sunan Kalijaga), David Efendi, MA (Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah) dan Muarif, M.Pd (Sejarawan Muhammadiyah).
Dalam pengantarnya David Efendi, MA, Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah, menjelaskan, para aktivis Muhammadiyah sejak 1912-2024 pernah terlibat dalam aktivitas politik kepartaian seperti di Sarekat Islam (SI), Partai Islam Indonesia (PII), Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Matahari Bangsa (PMB) hingga Partai Ummat (PU).
“Tentu sebagian lain aktivis Muhammadiyah juga tersebar ke berbagai partai politik lain meski tidak begitu dominan,” kata David Efendi.
Menurutnya, dari berbagai partai politik tersebut keterlibatan Muhammadiyah paling intensif secara kelembagaan ke partai politik terjadi pada Parmusi dibandingkan Masyumi, apalagi PAN. “Baik Parmusi maupun Masyumi keduanya sama-sama hanya sekali saja pernah menjadi peserta Pemilu,” kata David Efendi.
Disampaikan David, Masyumi pernah menjadi partai politik peserta Pemilu 1955, sementara Parmusi pernah menjadi partai politik peserta Pemilu 1971.
Bedanya, bulan madu antara Muhammadiyah dan Parmusi (1968-1971) tidak sepanjang atau selama antara Muhammadiyah dan Masyumi (1945-1958). “Namun intensitas pengaruh dan keterlibatan Muhammadiyah ke Parmusi jauh lebih mendalam ketimbang ke Masyumi,” kelakar David.
Keputusan Tanwir Muhammadiyah Bandung (1966) menegaskan tentang perlunya pendirian partai Islam baru. Sementara, tahun 1971 menunjukkan keputusan Muktamar Muhammadiyah Ujung Pandang dengan lahirnya Khittah Ujung Pandang yang menyatakan Muhammadiyah tidak berafiliasi dengan partai politik manapun, termasuk Parmusi.
Terlihat sekali pergulatan mendalam yang dilakukan oleh Muhammadiyah sejak proses inisiasi pendirian hingga dinamika perkembangan Parmusi.
Hal itu terlihat ketika Muhammadiyah secara resmi selalu menerbitkan surat keputusan dukungan terhadap Parmusi, termasuk Majelis Hikmah (kini dikenal dengan sebutan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik/LHKP) yang di dalamnya mengambil peran penting dalam kelahiran partai tersebut.
Penunjukan KH Faqih Usman sebagai Ketua Tim Tujuh sekaligus ketua umum pertama yang ditolak oleh presiden dan akhirnya terpilih Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun sebagai ketum dan sekum pertama Parmusi yang disetujui pemerintah saat itu semakin memperjelas posisi sentral Muhammadiyah di tubuh Parmusi.
Hal itu tergambarkan secara jelas di dalam buku ini. Dan penulisan buku ini didasarkan pada fakta belum pernah adanya kajian yang secara khusus membahas tentang keterlibatan Muhammadiyah sejak pendirian, perkembangan dan keberakhirannya dengan Parmusi.
Karena itu, tujuan utama penulisan buku ini sebenarnya ingin menjawab pertanyaan yang sering muncul, terutama dari kalangan internal warga Muhammadiyah: mengapa Muhammadiyah tidak mendirikan partai politik saja agar kanal perjuangan politik praktis ada salurannya?
Jawabannya, bercermin dari pengalaman pergulatan Muhammadiyah yang begitu mendalam di tubuh Parmusi, pendirian partai politik bukanlah hal mudah yang bisa berdampak negatif terhadap retaknya konsolidasi gerakan dakwah Muhammadiyah.
Keterlibatan aktif Muhammadiyah sejak proses pendirian Parmusi hingga akhirnya mengambil keputusan menjaga jarak dari politik praktis dengan lahirnya Khittah Ujungpandang 1971 adalah pengalaman yang nyata dan luar biasa.
Politik praktis memang bukan lahan dakwah Muhammadiyah, padahal situasi sosial politik pendirian Parmusi saat itu sangatlah mendukung ketika warga Muhammadiyah membutuhkan saluran politik yang saat itu belum terwadahi di partai politik yang lain.
Sementara, situasi sosial politik saat ini tidak ada alasan lagi jika saluran politik warga Muhammadiyah tidak tersalurkan. Situasinya saat ini sudah berubah sehingga tidak memaksa Muhammadiyah untuk terlibat secara praktis dalam politik kepartaian.
Situasi sosial politik saat ini terbuka luas bagi warga Muhammadiyah untuk terlibat aktif, baik dalam politik kepartaian maupun politik kepemiluan melalui tim sukses serta bisa langsung maju sebagai caleg maupun cakada — bahkan capres-cawapres — dari partai yang berbeda-beda.
Namun demikian ini bukan berarti Muhammadiyah tidak mendukung para kadernya yang berkeingingan terjun ke dalam politik praktis. Apapun situasinya Muhammadiyah tentu masih memerlukan politik praktis sebagai bagian dari dakwah Islam ke saluran politik kekuasaan.
Dengan kekuasaan, tujuan Muhammadiyah akan tercapai. Muhammadiyah justru istiqomah untuk mendorong para kadernya yang ingin terlibat aktif dengan tetap konsisten untuk aktif di partai politik serta masih membangun komunikasi dengan Persyarikatan di banyak ruang atau kesempatan.
Artinya, terlibat dalam politik praktis jangan hanya setengah-setengah. Maju ketika mau ada hajatan Pemilu, kembali lagi ke Muhammadiyah jika kalah bertarung.
Muhammadiyah mendorong agar para kadernya tetap fokus dan istiqomah berjuang di partai politik. Tentu, keterlibatan di persyarikatan tetap diizinkan dengan tidak memegang posisi-posisi penting.
Buku ini menegaskan, bahwa pengalaman Parmusi menjadi peneguh atas lahirnya Khittah Ujungpandang 1971 yang membentuk logika kelembagaan yang kuat bagi Muhammadiyah dalam menghadapi dinamika politik praktis.
Parmusi telah membentuk kesadaran Muhammadiyah dari kesadaran individual (individual consciousness) antara 1912-1971 menjadi kesadaran kelembagaan (institutional consciousness) antara 1971-sekarang. Pengalaman Parmusi juga telah membuktikan keberhasilan dalam membentuk imunitas politik bagi Muhammadiyah. Tidak ada lagi keterlibatan terdalam Muhammadiyah ke partai politik sedalam keterlibatan di tubuh Parmusi.
Parmusi menjadi pengalaman pertama dan terakhir bagi Muhammadiyah dalam urusan politik praktis. Tahun 1971 menjadi batas politik Muhammadiyah yang jelas antara masalalu (1912-1971) dan masa depan (1971-sekarang).
Ketua Umum PP Aisyiyah, Salmah Orbayyinah, mengatakan, buku tersebut sangat baik untuk dibaca dan dibedah. “Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah memiliki peranan sangat penting dalam dunia perpolitikan,” kata Salmah.
Bagi Salmah, buku tersebut memberikan tawaran menarik untuk mengurai sejarah politik Muhammadiyah dan memberikan wawasan mendalam tentang sejarah keterlibatan Muhammadiyah dalam politik. Khususnya dalam pembentukan dan perkembangan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).
“Pembaca dapat memahami bagaimana dinamisasi internal di tubuh Muhammadiyah dan Parmusi,” kata Salmah. (Fan)
Discussion about this post