Pariwisata merupakan nafas dari Daerah Istimewa Yogyakarta sehingga setiap ruang gerak di daerah pasti akan berimbas pada kondisi pariwisata.
Di depan Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah DIY GKR Bendara, Kepala Dinas Pariwisata DIY Imam Pratanadi, bupati, wakil bupati dan wakil walikota se-DIY, akademisi, asosiasi dan instansi terkait serta Ketua GIPI DIY Bobby Ardiyanto Setya Aji, Anggota Komite III DPD RI, Ir Ahmad Syauqi Soeratno, MM, melakukan kegiatan reses penyerapan aspirasi masyarakat dan daerah, Rabu (9/4/2025).
Dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Respon Pelaku Wisata Terhadap Kebijakan Pemerintah Pusat Terkait Kepariwisataan” di Ruang Serbaguna Lantai 1 Kantor DPD RI Daerah Istimewa Yogyakarta, Jl Kusumanegara, Yogyakarta, Syauqi lakukan pendalaman dan masukan terhadap materi tersebut dalam kegiatan reses penyerapan aspirasi masyarakat dan daerah di daerah pemilihan masing-masing pada masa sidang III tahun sidang 2024-2025.
Kali ini disampaikan hasil survei terkait imbas Inpres No 1/2025, larangan study tour dan kebijakan lainnya bagi pelaku pariwisata dan ekonomi kreatif di DIY.
Dikeluarkannya Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran perlu dipandang sebagai peluang sekaligus tantangan bagi dunia pariwisata. Syauqi yakin, dunia pariwisata DIY mampu melihat peluang dan menjawab tantangan yang ada.
Bagi Syauqi, adanya Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 2025 ini, kita bisa membacanya sebagai peluang dan tantangan. “Kita tentu bisa mencari peluang apa saja yang masih ada dengan adanya efisiensi ini dan bagaimana kita mencari solusi terhadap tantangan yang menjadi dampaknya,” katanya.
Kata Syauqi, pariwisata merupakan nafas dari DIY sehingga setiap ruang gerak di daerah pasti akan berimbas pada kondisi pariwisata.
Dalam membicarakan dunia pariwisata Yogyakarta, kata Syauqi, harus dibahas bersama-sama dengan semua pemangku kepentingan yang ada.
“Keterkaitan antar pemangku kepentingan dalam pariwisata di Yogyakarta sangat penting untuk menciptakan ekosistem pariwisata yang berkelanjutan dan saling menguntungkan,” papar Syauqi.
Menurutnya, pemangku kepentingan utama dan keterkaitannya meliputi Pemerintah Daerah, pelaku industri pariwisata, masyarakat lokal atau masyarakat sekitar, organisasi non-pemerintah (NGO), akademisi dan peneliti serta wisatawan.
Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai provinsi yang selama ini leading di bidang pariwisata harus terus cari jalan dengan proses kreatif yang selama ini ada, bisnis dan manajerial tersendiri.
Berbagai hantaman yang menerpa industri tourism membuat para pelaku pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta bukan persoalan DIY semata.
“Tidak ada jalan lain kecuali harus membangun kebersamaan, duduk bersama, berkolaborasi sesuai dengan kemampuan dan potensi masing-masing,” kata Syauqi.
Turunnya daya beli masyarakat dan okupansi hotel tidak hanya dirasakan di DIY. Lebih spesifik, ini adalah persoalan industri, bukan persoalan masing-masing-masing hotel atau DIY saja.
Komite III DPD RI yang salah satunya membidangi pariwisata mendorong Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) DIY untuk mengajak organisasi serupa di seluruh Indonesia menyampaikan aspirasi agar menjadi rekomendasi besar.
DPD RI akan mendorong kementerian agar segera ada keputusan yang lebih jelas sampai ke daerah. Bahkan policy di tingkat pusat jangan sampai berdampak kerugian di daerah dan memunculkan kegelisahan atau ketidakjelasan terhadap industri pariwisata.
Apa yang disampaikan Syauqi ditanggapi Peneliti Pusat Studi Pariwisata (Puspar) UGM, Dr Destha Titi Raharjana, S.Sos, M.Si, yang juga menjabat Wakil Ketua GIPI DIY Bidang Penelitian dan Pengembangan.
Disampaikan Destha, turunnya daya beli masyarakat dan okupansi hotel tidak hanya dirasakan di DIY. “Bukan persoalan masing-masing hotel atau DIY saja,” kata Destha.
Bagi Destha, berbagai hantaman yang menerpa industri tourism membuat pelaku pariwisata di DIY harus membangun kebersamaan. Berkolaborasi sesuai dengan kemampuan dan potensi masing-masing. (Fan)
Discussion about this post