SEORANG Haji suku Bugis di Makassar, Sulawesi Selatan, berujar, “Omset jualan saya dari hasil ekspor rumput laut terus meningkat dan sekarang sudah di angka 50 miliar rupiah per bulan!”
Padahal, si pak Haji ini mengekspor rumput laut dengan kondisi seadanya.
Rumput laut yang beliau ekspor pun cenderung berbentuk curah, dimuat dalam kantong karung plastik bekas dengan kadar air yang masih cukup basah karena dijemur hanya sebentar.
Rumput laut ini kemudian dimuat dalam container 40 feet sebelum dibawa ke pelabuhan untuk didistribusikan ke mancanegara.
Dalam kondisi standar minimal begini saja, rumput laut mentah laku keras dan bahkan pihak buyer di negara negara Asia — khususnya China — mengatakan padanya, “Pak Haji kirim berapa container pun bapak kirim kami akan terima dan langsung bayar,” begitu ceritanya.
Di lain tempat di Gresik, Jawa Timur, seseorang yang asalnya adalah seorang pengumpul ikan sisa pelelangan kecil-kecilan, telah tumbuh dalam 30 tahun ini menjadi eksportir Ikan beku dan produk hasil olahan ikan laut lainnya dengan nilai annual sale sebelum pandemi Covid-19 sebesar Rp 5 Triliun!
Seorang professor pada Departemen Pertanian Universität Hohenheim-Stuttgart, Jerman, pernah memberi saran kepada para kandidat doktor asal Indonesia yang ingin menulis riset S3 di universitas yang terkenal untuk bidang teknik pertanian dan pangannya itu.
Sarannya adalah sebagai berikut :
Kandidat doktor pertanian asal Indonesia yang mengajukan proposal disertasi kepada professor pembimbing untuk memperoleh gelar doktor pada universitas kami selalu saja memilih tema riset sekitar gandum, keju, apel, anggur dan hal-hal khas Eropa lainnya.
Mereka pikir itu adalah pemilihan tema riset yang tepat, mengingat para professor Jerman pembimbing mereka adalah ahli pada bidang-bidang tersebut.
Tapi, sebenarnya, pemikiran seperti ini agak keliru. Berikut pemikiran para professor tersebut:
“Kami sebagai pembimbing program doktoran tentu juga ingin belajar dari mereka tentang jenis tanaman asal tanah air mereka sendiri.”
“Kami ingin para kandidat itu menulis tema riset seperti tentang kangkung, salak, durian, rambutan, dan lain-lain.”
“Karena tema-tema ini lebih menarik minat kami sebagai pembimbing dan tentu saja memudahkan para kandidat untuk diterima masuk program doktor di universitas kami dan seluruh universitas di Eropa.”
Kisah-kisah nyata di atas, sebetulnya merupakan petunjuk bagi siapa yang berpikir akan ke mana arah tujuan ekonomi dan industri bangsa Indonesia.
Tanah air kita mempunyai tanah yang subur, di mana biji-bijian apa pun yang kita buang saja ke tanah kita, maka akan tumbuh menjadi pohon.
Tanah air kita mempunyai matahari yang bersinar sepanjang tahun sehingga tanaman akan cepat bertumbuh dan bahkan kita bisa mendapatkan dua kali dalam setahun musim panen suatu komoditi.
Tanah air kita juga mempunyai musim penghujan yang membawa pupuk nitrogen gratis dari langit.
Sungai dan mata air pun terhampar di mana-mana, siap untuk mengantarkan asupan nutrisi bagi tanaman kita.
Ketika tanaman konsumsi kita tumbuh subur, maka praktis akan tumbuh berkembang pula aneka hewan yang diternakkan untuk mencukupi kebutuhan protein masyarakat.
Hasil dari segala daya upaya kita mengolah tanah yang subur akhirnya segera terhidang manis di atas meja makan kita masing-masing.
Jenisnya pun beragam sesuai dengan tata cara masyarakat kita mengolahnya seperti: rendang, nasi goreng, gado-gado, gudeg, rica-rica, es teler, gulai, teh tarik, aneka jamu, aneka kue basah dan jenis panganan lainnya.
Di laut kita menyimpan harta karun yang tak seorangpun di dunia ini dapat membayangkannya.
Ada berbagai jenis Ikan di laut kita, dari yang bisa dikonsumsi hingga ikan sebagai hiasan berikut segala makhluk laut non-ikan.
Kemudian juga ada kekayaan mineral bawah laut seperti cadangan minyak dan gas lepas pantai.
Keindahan laut juga dapat dieksplorasi bagi kesejahteraan bangsa, khususnya masyarakat pesisir, yang bisa mendapatkan keuntungan ekonomis dari banyaknya pengunjung baik domestik maupun mancanegara yang ingin menikmati.
Nusantara yang berpenduduk hampir 270 juta jiwa ini juga mendapat karunia Tuhan berupa bonus demografi.
Terdiri atas suku-suku bangsa yang beraneka ragam adat dan budayanya, yang tentu akan mengundang keinginan setiap orang di dunia untuk mengunjungi dan juga melihat langsung keindahan alam surgawi Indonesia.
Dari jumlah penduduk urutan nomor empat di dunia, lahirlah orang-orang seperti: Kartini, Haji Agus Salim, Bung Karno, Pak Habibie, Nyoman Nuarta, pesepakbola Ramang, dan pelukis Raden Saleh.
Ada pula penari Nini Rasinah, Rudi Hartono Kurniawan, Lim Swie King, Susi Susanti, hingga Anggun C Sasmi, gitaris Alif ba ta, Joe Taslim, Iko Uwais, yang berprestasi dunia yang tidak bisa kita sebutkan satu persatu saking banyaknya.
Sekali lagi bahwa ini semua merupakan petunjuk bagi kita yang berpikir bahwa kekuatan bangsa dan negara kita berada di bidang bidang:
1. Pertanian dan Pangan.
2. Maritim dan segala hasil produk laut kita
3. Pariwisata
4. Industri Kreatif
Empat bidang inilah yang telah menjadi comparative advantage kekuatan bangsa kita yang tak mungkin bisa dikalahkan oleh bangsa lain dan selayaknya menjadi basis pengembangan ekonomi dan industri Indonesia.
Terkait dengan pengembangan bidang industri Indonesia, Ketua DPR RI, Puan Maharani, menyampaikan pentingnya dukungan modernisasi industri di Indonesia yang didukung oleh riset teknologi yang mumpuni, yang sesungguhnya telah dikuasai oleh ahli-ahli di Indonesia.
Bila hal tersebut dapat diimplementasikan dengan baik empat bidang kekuatan kita ini akan dapat membawa Indonesia kepada era kejayaan.
Jika kita bisa mengatur strategi pengembangannya dengan seksama disertai dengan semangat gotong royong antarpelaku industri menuju Indonesia Maju. (Mirah Kusumaningrum, Pengamat Ekonomi Rakyat, tinggal di Jawa Timur)
Discussion about this post