PT Garuda Mitra Sejati (PT GMS), melalui Law Office Yusuf Singajuru Jafar & Partners, membantah berita dan informasi terkait dugaan penipuan dan/atau penggelapan investasi hotel di Yogyakarta, yang menyeret nama Direktur Utamanya, SKN.
Pernyataan ini disampaikan sebagai respons atas berita yang beredar di media massa, yang dianggap tidak akurat dan menyesatkan publik. PT GMS menegaskan, bahwa informasi yang beredar di media mengenai kasus tersebut adalah tidak benar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Kuasa hukum PT GMS, Dewi Cynthia menjelaskan, keputusan pembelian aset Hotel Top Malioboro bukan merupakan keputusan sepihak dari SKN, melainkan merupakan usulan dari GSS, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Umum PT GMS. Keputusan tersebut telah dibahas dan disetujui bersama oleh Dewan Direksi dan Komisaris Utama PT GMS.
“Pembelian tersebut sesuai dengan kewenangan direksi dan AD/ART PT GMS, dan telah dilaporkan kepada pemegang saham serta dicatat dalam Laporan Keuangan Perseroan,” tegas Dewi.
Dewi memaparkan, keputusan Dewan Direksi untuk melakukan pembelian aset Hotel Top Malioboro dilakukan berdasarkan kewenangan Direksi dengan memperhatikan ketentuan Pasal 14 Ayat (2) AD/ART PT GMS Nomor 47, tanggal 23 Juni 2010 yang dibuat di hadapan Notaris Magdawati Hadisuwito.
Pembelian aset Hotel Top Malioboro telah dilaporkan kepada para pemegang saham berikut cara pembayarannya melalui RUPS Tahunan 2019 tanggal 26 Juni 2020.
“Aset Hotel Top Malioboro tersebut telah dicatatkan dalam Laporan Keuangan Perseroan dan disetujui serta disahkan oleh 90% (sembilan puluh persen) Pemegang Saham PT GMS termasuk Pelapor (AJ),” terang Dewi.
PT GMS, melalui Dewi, membantah adanya kerugian dalam transaksi pembelian, menegaskan bahwa pembelian tersebut dilakukan di bawah harga pasar.
Dijelaskannya, sebelum dilakukan jual beli, PT Muncul Properti Makmur (PT MPM) telah memiliki appraisal dari KJPP Yanuar Bey dan Rekan, sehingga apabila dibandingkan dengan nilai appraisal tersebut, PT MPM menjual aset Hotel Top Malioboro di bawah dari harga pasar.
“Dengan demikian tidak ada kerugian yang dialami oleh PT GMS. Justru PT GMS sangat diuntungkan atas pembelian aset Hotel Top Malioboro,” tegasnya.
Dewi juga menanggapi tuduhan mengenai pembayaran saham oleh SKN dengan 24 lembar cek/bilyet giro yang tidak dapat dicairkan sebagai informasi yang menyesatkan.
Menurut Dewi, pembayaran tersebut dilakukan dengan bilyet giro yang dapat dicairkan dan tidak pernah terjadi tolakan.
“PT GMS juga menyoroti pencapaian perusahaan di bawah kepemimpinan Bapak SKN, termasuk kemampuan bertahan dan berkembang pesat selama pandemi Covid-19. Perusahaan berhasil memenuhi kewajibannya kepada kreditur dan pihak ketiga tanpa mengalami gagal bayar,” jelas Dewi
Langkah Hukum Selanjutnya
Dewi mengatakan, pihaknya menduga adanya upaya dari pihak-pihak pemegang saham yang ingin menguasai PT GMS secara masif, sehingga berusaha untuk mempengaruhi pemegang saham lain dengan iming-iming keuntungan.
“Sedangkan pada faktanya PT GMS di bawah kepengurusan SKN telah menunjukkan kemajuan yang positif, bahkan tanpa adanya keterlibatan para pemegang saham yang berusaha untuk menjatuhkan harkat dan martabat Bapak SKN selaku Direktur Utama PT GMS,” ungkapnya.
Dewi mengatakan, pihaknya saat ini sedang mengumpulkan dokumen dan bukti terhadap setiap perbuatan melawan hukum, termasuk penyebaran informasi atau berita bohong.
Pihaknya pun meminta AJ untuk mencabut pernyataan dan meminta maaf atas penyebaran informasi dan berita bohong dalam waktu 2×24 jam, atau menghadapi tindakan hukum.
“Langkah ini diambil sebagai upaya perlindungan reputasi dan nama baik perusahaan dan pengurusnya,” tegas Dewi.
Sebelumnya pada Desember 2023 lalu sejumlah orang telah melaporkan SKN selaku Direktur Utama PT. GMS ke Polda DIY atas dugaan penipuan investasi hotel.
Modusnya, SKN membeli 24 lembar saham PT. GMS namun membayar dengan tukar guling aset yang berujung pada kerugian PT tersebut.
Penasihat Hukum para pemegang saham PT. GMS yang menjadi korban penipuan, Julius Rutumalessy menjelaskan, bahwa awalnya PT. Garuda Mitra Sejati (GMS) menawarkan penambahan saham kepada para pemegang saham pada tahun 2018. Saat itu, para pemegang saham ditawarkan 49 lembar saham dengan harga perlembar Rp 1,160 miliar.
“SKN selaku Direktur Utama ikut serta dengan mengambil 24 lembar. Pembayarannya berdasarkan RUPS (rapat umum pemegang saham) pada waktu itu disepakati secara tunai,” katanya saat jumpa pers di salah satu hotel di Kota Jogja, Jumat (5/1/2024).
Namun, dalam praktiknya ternyata SKN tidak membayar saham sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Bahkan, dari puluhan cek hanya satu yang bisa dicairkan oleh PT. GMS.
“Nah, SKN ini membayar dengan menerbitkan 24 lembar cek atau bilyet giro yang masing-masing cek bernilai Rp 1,160 miliar,” ujarnya.
“Kemudian dalam prosesnya ternyata cek ini tidak bisa dicairkan, sampai jatuh tempo di bulan Mei 2018 hanya satu lembar cek yang bisa dicairkan7,” lanjut Julius.
Hal tersebut, kemudian terus berlarut-larut sampai akhirnya 10 bulan kemudian, tepatnya di bulan Maret 2019. Ternyata pihak direksi PT. GMS melakukan sebuah tindakan yang tidak terlebih dahulu dikomunikasikan dengan para pemegang sahamnya.
“Tapi secara sepihak mengambil tindakan-tindakan yang menguntungkan saudara SKN yang saat itu menjabat Direktur Utama,” ucapnya.
Menguntungkannya itu, kata Julius, antara lain, pertama meskipun 23 cek tersebut tidak bisa dicairkan namun pembelian saham tidak dibatalkan.
Kedua, modal pembayaran yang disepakati pembayaran tunai tapi secara sepihak diubah menjadi tukar guling dengan aset yang dimiliki saudara SKN.
“Artinya, tidak ada setoran modal dalam proses pembelian saham itu kepada PT. GMS. Yang terjadi adalah proses tukar guling dengan asetnya berupa sebidang tanah yang di atasnya berdiri Hotel di kawasan Kota Jogja,” katanya.
Selain itu, Julius menilai proses tukar guling yang dilakukan SKN secara hukum bermasalah.
“Nah, proses tukar guling ini sendiri pun secara hukum bermasalah karena dilakukan di bawah tangan, tidak ada akta notariilnya, kenapa? Karena aset yang mau ditukargulingkan hingga saat ini masih dijaminkan di Bank Bukopin oleh SKN untuk keperluan perusahaannya yang lain,” jelasnya.
Karena tidak diakta notariil-kan, Julius menyebut proses penyertaan modalnya menjadi bermasalah. Pasalnya secara normal dalam praktik hukum, ketika seseorang menyertakan modal berupa aset maka harus ada akta inbreng untuk memasukkan aset itu menjadi aset perusahaan.
“Tapi karena proses ini bermasalah, asetnya masih dijaminkan di Bukopin akhirnya tidak bisa dibuatkan akta nota riil, maka akta inbreng pun tidak terjadi. Sehingga efeknya sampai sekarang aset itu masih atas nama SKN belum atas nama PT. GMS,” katanya.
“Nah, kerugian yang timbul antara lain, pertama karena tidak jadi pembayaran tunai, PT. GMS tidak jadi mendapatkan tambahan modal dari 24 saham yang diambil SKN, atau sekitar Rp 26 miliar,” imbuh Julius.
Bahkan, PT. GMS yang menaungi usaha di bidang mall dan perhotelan yaitu Jogja City Mall, Sleman City Hall dan Hotel Rich ini harus menanggung beban utang SKN di Bank Bukopin.
“Kedua, PT. GMS harus menanggung beban utang ke Bukopin karena aset yang ditukargulingkan oleh SKN masih dijaminkan SKN dan belum lunas pembayarannya,” ujarnya.
Merasa dirugikan, salah satu pemegang saham PT. GMS yakni Anton Juwono melaporkan kejadian ke Polda DIY pada tanggal 8 Desember.
Di sisi lain, pihaknya juga mendapatkan informasi dari rekan pengusaha lainnya bahwa dugaan tindak pidana serupa juga terjadi dan menimpa pemegang saham di perusahaan lain, dengan modus operandi yang sama, dan atas dugaan itu para pemegang saham juga telah melaporkan perbuatan curang termaktub kepada aparat penegak hukum.
“Sehingga kami memohon kepada Bapak Kapolda DIY agar benar-benar bisa memberikan atensi/perhatian khusus dalam penyelesaian adanya dugaan tindak pidana penipuan ini, yaitu dengan segera ditingkatkannya status pemeriksaan perkara pada tahap penyidikan, untuk selanjutnya dapat dilimpahkan kepada Kejaksaan Negeri,” katanya.
Hal ini penting untuk memberikan rasa aman dan keadilan bagi pelaku bisnis, yang akan menginvestasikan uangnya di sektor-sektor riil yang sedang berkembang di Yogyakarta.
Dengan adanya kepastian hukum dan diberantasnya segala bentuk perbuatan curang (penipuan-penggelapan) di Yogyakarta, maka akan menciptakan iklim investasi yang akan membawa dampak bagi perekonomian masyarakat Yogyakarta secara luas. (*/rth)
Discussion about this post