Pengamat: Gibran jadi Cawapres, Krisis Etika Politik

Ketua umum partai Golkar dan Gibran Rakabuming Raka. @ foto InilahJogja

PARTAI Golkar melalui Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) menetapkan usulan anak Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto, Sabtu (21/10/2023).

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi yang dipimpin paman Gibran, Anwar Usman, mengabulkan gugatan mahasiswa asal Surakarta atau Solo terkait syarat usia capres-cawapres, sehingga Gibran akhirnya bisa mendaftar meskipun usianya belum 40 tahun.

Pengamat politik Universitas Airlangga (Unair), Airlangga Pribadi pun menilai bahwa peristiwa politik ini adalah sesuatu yang amat disayangkan karena memberikan efek buruk bagi demokrasi maupun kontestasi politik dalam banyak hal.

Doktor alumnus Murdoch University, Australia, tersebut merinci, setidaknya terdapat lima analisis terkait kontroversi pencalonan Gibran.

Pertama, pemilihan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres dari Capres Prabowo Subianto adalah rangkaian yang tak dapat dipisahkan dari kontroversi politik saat keputusan MK menerima gugatan agar mereka yang sedang atau pernah menjabat sebagai bupati atau walikota maupun gubernur dapat menjadi capres dan cawapres meskipun belum berusia 40 tahun.

“Keputusan itu sendiri menandai terjadinya krisis etika republik, melecehkan etika publik, di mana etika imparsialitas terlanggar dalam keputusan tersebut dan adanya conflict of interest yang muncul ketika Ketua MK Anwar Usman ikut serta memutuskan perkara dengan menerima gugatan,” ujarnya.

Airlangga mengatakan, seperti diketahui ada hubungan kekerabatan antara Ketua MK dan Gibran. Ketua MK adalah adik ipar Presiden Jokowi, yang tak lain adalah paman Gibran, alias Gibran merupakan keponakan ketua MK. Padahal ada etika hakim, bahwa yang memiliki hubungan kekerabatan dalam setiap kasus hukum tidak boleh terlibat dalam pengambilan keputusan hukum,” ujar Airlangga.

“Dari sini maka momen pemilihan pasangan Prabowo-Gibran menjadi penegasan rangkaian penyalahgunaan kekuasaan, ketika hukum menjadi instrumen dari kekuasaan kepentingan politik dominan,” tegasnya.

Kedua, implikasi dari langkah politik yang memperlihatkan cacat yuridis dan indikasi subordinasi penjaga konstitusi, dalam hal ini MK, bagi kepentingan politik. Artinya, pasangan Prabowo-Gibran mengandung cacat politik dan cacat konstitusional.

“Mereka sejak awal menjadi bagian dari kekuatan politik yang memperoleh imbas keuntungan politik dari manuver yang bertujuan untuk melemahkan etika republik dan memasung demokrasi kita,” ujarnya.

Ketiga, lanjut Airlangga, implikasinya adalah, alih-alih kita berharap terjadinya Pilpres 2024 yang tidak ditandai oleh polarisasi politik, justru pelemahan etika republik ini memunculkan polarisasi politik sampai ke tingkat bawah, mengingat bahwa kontestasi ini berlangsung dalam persepsi publik yang cukup kuat bahwa pemilu berjalan tidak fair, ada yang diuntungkan dari berbagai pelemahan republik maupun demokrasi yang berjalan.

Keempat, amat disayangkan bahwa peristiwa politik ini alih-alih memunculkan harapan bagi tampilnya politisi muda yang bersih sesuai harapan kaum milenial dan Gen Z, justru memberikan noda pada politisi muda bagi Gibran Rakabuming Raka karena dimunculkan dalam prosesi politik yang penuh dengan penghancuran atas trias politika.

Kelima, peristiwa politik ini juga amat disayangkan karena membuat akhir dari pemerintahan Jokowi yang telah berlangsung dengan baik selama ini, diakhiri oleh peristiwa politik yang menghancurkan bangunan demokrasi dan republik.

“Ibarat pesawat yang dalam perjalanannya berlangsung dengan mulus, pada akhirnya mengalami crash landing. Di sinilah fatal sekali efeknya dari proses politik yang banyak menerabas etika politik bagi bangunan republik kita!,” tegas Airlangga. (guf/fik)

Exit mobile version