Pemimpin Mendatang Harus Bersikap Adaptif

Bimawa UAD Bangun Jiwa Kepemimpinan Mahasiswa di Era 4.0 dan Society 5.0

BIRO Kemahasiswaan dan Alumni (Bimawa) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta bekerjasama dengan Indosat Ooredoo gelar Seminar Nasional Daring “Membangun Jiwa Kepemimpinan Mahasiswa di Era 4.0 dan Society 5.0”, Rabu (21/10/2020), di Kampus 1 UAD Jl Kapas, Yogyakarta.

Sebagai pembicara dalam acara yang diikuti mahasiswa dan dipandu Dr Dody Hartanto, M.Pd itu adalah Aris Budiyanto (Head of Sales Force Regional Indosat Ooredoo), Prof Dr Ir Dwi Sulisworo, MT (Dosen UAD Yogyakarta) dan Drs Suwarsono Muhammad, MA (Ketua Yayasan Badan Wakaf UII Yogyakarta).

Ketika membuka acara tersebut, Rektor UAD Dr Muchlas, MT, mengatakan, pemimpin di masa mendatang harus memiliki sikap adaptif di era Revolusi Industri 4.0.

Menurut Muchlas, dengan berbagai cara UAD Yogyakarta telah membekali mahasiswa untuk memiliki keterampilan kepemimpinan yang adaptif. “Kepemimpinan merupakan keterampilan yang harus ditanamkan kepada mahasiswa,” kata Muchlas, yang menambahkan mahasiswa yang akan menjadi pemimpin di masa depan bisa menjalankan kepemimpinannya sesuai dengan eranya.

Dikatakan Muchlas, pemimpin yang baik itu harus memiliki sikap adaptif dan solutif.

Di sisi lain, Dwi Sulisworo, ketika menyinggung seorang pemimpin mengatakan, pemimpin adalah orang yang memiliki perubahan di masa depan. “Makanya seorang pemimpin harus memiliki pengetahuan tentang to know the way, to show the way dan to goes the way,” kata Dwi Sulisworo.

Bagi Dwi Sulisworo, seorang pemimpin juga harus mengetahui ke mana arah perubahan itu. “Selain itu bisa menunjukkan jalan menuju perubahan dan menjadi penunjuk jalan ke arah perubahan,” paparnya.

Dijelaskan Arif Budiyanto, ada empat kompetensi agar menjadi generasi yang memiliki jiwa kepemimpinan, yaitu kompetensi teknis, metodologi, sosial dan personal.

Selama ini, kata Arif Budiyanto, ada gap yang cukup memprihatinkan antara generasi tua dan milenial. “Sejak kehadiran smartphone itu generasi milenial tidak bergaul dengan orang-orang di sekitarnya,” katanya.

Kata Arif, mereka itu lebih banyak menggunakan medsos atau media sosial dalam bersosialisasi. Dan gap ini diperparah dengan pola asuh dalam keluarga yang cenderung memanjakan generasi milenial. “Akhirnya tumbuh yang serba instan dan serba online,” kata Arif Budiyanto.

Tahun 1970-an cukup banyak cendekiawan yang secara sungguh-sungguh memberikan perhatian dan membuat prakiraan masa depan kapitalisme sosial, khususnya cendekiawan berlatar belakang ekonomi, politik dan sosial.

Selain itu, Suwarsono Muhammad juga menyinggung soal kapitalisme politik. “Keberhasilan operasi perusahaan ditandai dengan besar-kecilnya perolehan laba,” kata Suwarsono, yang menambahkan harga saham ditentukan oleh keberhasilan membangun jaringan antara pemilik perusahaan atau elit ekonomi dengan pemegang kekuasaan pemerintahan atau elit politik.

Menurut Suwarsono, kapitalisme politik sangat merugikan masyarakat dan hanya mementingkan pemerintahan dan pasar saja. “Tapi kapitalisme sosial dinilai lebih bersahabat dengan masyarakat,” katanya. (Affan)

Exit mobile version