PAGELARAN Mustikaning Watu Aji Borobudur digelar sejumlah seniman pahat batu dan akademisi di alur Sungai Pabelan Dusun Prumpung Sidoharjo, Desa Tamanagung, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah kemarin.
Prosesi siang itu untuk memohon berkah dan keselamatan kepada Tuhan dari pandemi Covid-19 khususnya di sektor ekonomi.
Mayoritas warga di Dusun Prumpung berprofesi sebagai pemahat batu vulkanik gunung Merapi. Keahlian itu merupakan warisan nenek moyang mereka yang sudah terkenal hingga mancanegara.
Lokasi Dusun ini berada di titik tengah dua sumber agung, yakni Gunung Merapi dan Candi Borobudur. Kultur itu pula yang menjadi dasar digelarnya ritual ini.
“Kita adalah desa di titik tengah sumber agung hidup yakni Merapi dan Candi Borobudur,” kata salah satu perajin batu Prumpung Muntilan, bernama Yoga.
Yoga dan pemahat batu lain di Desa Prumpung percaya jika keahlian memahat batu adalah sebuah anugerah dari Tuhan. Dari setiap proses kreasi panjang itu tercipta stupa, arca dan relief Candi Borobudur dan aneka rupa patung lainnya.
Prosesi Mustikaning Watu Aji di Sungai Pabelan ini adalah sebuah upaya menjaga garis trah (keluarga) pemahat tradisional Candi Borobudur.
“Masyarakat prumpung adalah bagian sejarah pelestarian Candi Borobudur. Kini seni Pahat batu menjadi daya tarik bagi wisatawan,” ungkap Yoga.
Dengan pandang mata samar, dua sesepuh pemahat batu Muntilan Eyang Kasrin dan Mbah Joyo Prono mencoba memilah dan memilih batu mustika di antara aliran sungai yang berhulu di Gunung Merapi tersebut.
Kemudian keduanya mengambil sebuah batu sebesar buah kelapa. Melalui doa dan tetabuhan gamelan batu itu ditasbihkan menjadi mustika batu yang akan diwariskan ke generasi pemahat selanjutnya.
Batu terpilih itu diserahkan kepada Budayawan Ruwat Rawat Borobudur Sucoro yang kemudian disimpan oleh pemahat batu Prumpung.
Peneliti budaya dari Yogyakarta Profesor Baikhuni yang menyaksikan ritual ini menilai jika alih generasi pemahat secara alami di tengah sungai merupakan ritus budaya unik.
Karena dalam ritual itu, lanjunya, terdapat semangat baru yang ditunjukan para pemahat batu di tengah pandemi Covid-19. Semangat itu dalam arti mereka kuat secara ekonomi, mental spiritualitas dan budaya.
“Memecahkan masa kini dan masa depan dengan berpijak kepada sejarah leluhur. Mereka belajar mengalami memahami dan pengamalkan,” paparnya.
Dosen Fakultas Geografi UGM ini menambahkan, tugas kita merawat memimpin alam dunia. Memuliakan kemanusiaan dan melestarikan lingkungan. Dengan itu kita jadi mahluk unggul dan mulia di hadapan Tuhan dan umat.
Melalui prosesi budaya Mustikaning Watu Aji Borobudur ini diharapkan keahlian pahat batu dapat berlanjut. Sedangkan batu itu adalah simbol tetenger atau tanda dari masyarakat terhadap suatu peradaban.
“Ritual Watu Aji ini merupakan peristiwa agung, ilmu kanthi laku, laku kanthi ilmu (ilmu kehidupan dan kehidupan yang berilmu,” paparnya.
Marsis Sutopo di sini ikut melestarikan candi Borobudur. Ini adalah menjadi hal yang luar biasa agar tradisi yang masih berlanjut bisa diteruskan ke candi Borobudur dengan teragendakan.
Peneliti dan pemerhati Candi Borobudur Marsis Sutopo menilai Dusun Prumpung di luar terkenal sebagai pembuatan arca relief candi. Namun demikian juga terkenal kualitas bagus adalah coweknya.
Lebih hebat lagi adalah kerja keras para pemahat tradisional ini karena tetap bertahan hingga kini, baik itu dimasa pandemi, maupun segala kondisi
Pada Candi Borobudur, terang Marsis, juga terdapat relief pembuatan gerabah. Abad 8-9 sudah menggunakan tehnik roda putar sekarang masih dikerjakan di Karanganyar Borobdur.
Demikian pula Mustika Watu itu, papar Marsis, ada nilai keterkaitan antara pemahat dan Candi Borobudur di batu-batu yang tersusun dan terpahat. Bagaimana kemudian mustikaning watu Candi Borobudur itu ada di sini.
“Kita bisa memastikan tradisi berlanjut yakni lipoh dan pembuatan arca disini,” ujar pria yang pernah menjadi Kepala Balai Konservasi Borobudur ini. (mag/daf)