PAGUYUBAN Bregada Rakyat (PBR) Daerah Istimewa Yogyakarta terpanggil ikut menjaga Yogyakarta dengan menggelar siyaga hangrekso tentreming praja atau apel siaga “Jogja Damai” pada Minggu (11/10/2020) di DPRD DIY.
Apel siaga itu bertujuan untuk mengingatkan sekaligus mengajak semua komponen bangsa agar tunduk pada konsensus Nasional Pancasila dan menjaga semua sikap perilaku sesuai norma sosial dan aturan hukum berlaku.
Pada kesempatan itu, Paguyuban BRD DIY menghadirkan perwakilan anggota sebanyak 100 orang dari 36 kelompok keprajuritan yang berbusana khas seni keprajuritan rakyat se-DIY.
Kali ini, Paguyuban BRD DIY menyampaikan pernyataan sikap menolak keras aksi anarkis yang terjadi di DIY, mendukung pengusutan para pelaku aksi anarkis di DIY secara tuntas dan transparan.
Juga akan menjunjung tinggi nilai keadilan dan kedamaian sebagai budaya adiluhung di DIY. Dan melestarikan nilai-nilai, kerukunan dan keguyuban warga DIY khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya tanpa memandang suku, agama, ras dan antargolongan.
“Menjaga ketentraman dan kenyamanan di wilayah DIY bersama dengan seluruh elemen masyarakat menjaga keistimewaan DIY,” kata Nur Sukiyo, Ketua Paguyuban BRD DIY, Senin (12/10/2020).
Bagi Nur Sukiyo, mewujudkan ketentraman dan keterlindungan warga menjadi tanggung jawab semua komponen bangsa. “Setiap individu di masyarakat berkewajiban saling menjaga dan menghormati keberadaan sesamanya,” kata Nur Sukiyo.
Kondisi ini, terang Nur Sukiyo, akan menciptakan harmoni. “Sebaliknya, jika ada yang sengaja menegasi dan bahkan memaksakan agregasi kepentingannya secara frontal, maka yang terjadi adalah anarki,” paparnya.
Dan fenomena inilah yang beberapa kali terjadi di Yogyakarta. Masih kerap ditemui anarki sosial. Paling aktual adalah insiden unjukrasa yang berujung rusuh di Malioboro, Kamis (8/10/2020) lalu di Gedung DPRD DIY. Pos keamanan dan kendaraan polisi dirusak. Dan banyak lapak pedagang yang mengais rejeki di kakilima terkena imbasnya.
Satu hal yang sontak membuat kemarahan warga adalah pembakaran restoran Legian di Malioboro akibat lemparan molotov massa aksi.
“Peristiwa pembakaran ini baru pertama kali terjadi,” kata Nur Sukiyo.
Bahkan, manakala gelombang maraton demonstrasi massa tahun 1998, hal memilukan semacam itu tidak terjadi di Yogyakarta.
Warga pun lantas bereaksi keras. Raja Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X pun sampai mengeluarkan kecaman pedas.
Bagi Nur Sukiyo, dibutuhkan komitmen besar semua pihak untuk saling menghormati dan menjaga kedamaian serta
ketentraman. “Khususnya di Yogyakarta sebuah daerah istimewa bekas wilayah kerajaan yang kaya akan warisan budaya leluhur,” terangnya.
Adalah Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono l (1717-1792) yang mendirikan Yogyakarta. “Beliau mencetuskan konsep watak satriya, yakni nyawiji greget sengguh ora mingkuh,” kata Nur Sukiyo.
Diterangkankannya, nyawiji (konsentrasi total), greget (semangat jiwa), sengguh (percaya diri) dan ora mingkuh (penuh tanggung jawab). “Konsep-konsep luhur ini menjadi kredo atau prinsip bagi seluruh masyarakat,” kata Nur Sukiyo.
Menurut Sukiyo, Sri Sultan Hamengku Buwono l juga merumuskan falsafah “Hamemayu Hayuning Bawono” (menjaga kelestarian dan keharmonisan alam).
“Semuanya menjadi nilai-nilai utama yang diharapkan menjadi pedoman karakter bagi seluruh lapisan masyarakat,” ungkapnya.
Kata Sukiyo, warisan falsafah watak satriya ini masih akan selalu relevan sebagai dasar rujukan dalam rangka National Character Building. “Yakni upaya untuk membina, memperbaiki dan atau membentuk tabiat, watak, sifat kejiwaan, akhlak budi pekerti, insan manusia atau masyarakat sehingga menunjukkan perangai dan tingkah laku yang baik berlandaskan nilai-nilai Pancasila,” pungkasnya. (Affan)