LISTRIK kini menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat bahwa realisasi konsumsi listrik pada periode 2023 mencapai 1.337 kWh/kapita, meningkat sebesar 13,98% dari tahun 2022 sebesar 1.173kWh/kapita.
Namun, rata-rata tingkat konsumsi listrik di Indonesia masih lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya di ASEAN. Padahal konsumsi listrik menjadi salah satu indikator kesejahteraan suatu negara. Filipina, Myanmar, Kamboja, dan Timor Leste, memang tidak lebih unggul dari Indonesia dalam konsumsi listriknya, tetapi jika dibandingkan dengan negara Vietnam, Thailand, Malaysia, Laos, Singapura, dan Brunei Darussalam, memiliki rerata konsumsi listrik yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan Indonesia.
Dosen Teknik Fisika, Fakultas Teknik sekaligus peneliti energi terbarukan Dr. Rachmawan Budiarto, S.T., M.T., menyatakan rendahnya konsumsi listrik disebabkan sektor industri belum tumbuh secara optimal.
“Kita belum mencapai level industrialisasi yang tinggi, tentu saja konsumsi energi listrik untuk aktivitas ekonomi juga belum maksimal,” jelas Rachmawan saat dihubungi secara daring, Kamis (3/10).
Selain minimnya konsumsi dari sektor industri, Rachmawan menilai pemerintah juga belum berhasil melakukan akselerasi rasio elektrifikasi (RE) hingga hampir 100%. Seperti diketahui, rasio elektrifikasi merupakan perbandingan jumlah pelanggan rumah tangga yang memiliki sumber penerangan baik dari listrik PLN maupun listrik non-PLN dengan jumlah rumah tangga. Padahal di banyak daerah, RE tersebut bahkan baru berhasil memasok listrik dengan tingkat kehandalan yang belum tinggi, misal listrik baru bisa menyala ketika malam atau terbatas hanya selama 12 jam.
“Kondisi ini menyebabkan rendahnya konsumsi listrik per kapita,” ungkapnya.
Untuk meningkatkan konsumsi pemakaian listrik di tanah air, plt Ketua Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM ini berpendapat perlu dilakukan peningkatan pasokan energi dan kehandalan pasoknya termasuk di area rural dan daerah-daerah 3T.
Selain itu, program industrialisasi juga perlu ditingkatkan jika konsumsi listrik ingin naik. “Sektor industri adalah sektor yang sangat bergantung pada penggunaan energi,” jelasnya.
Menurut data, kata Rachmawan, di tahun 2019, sektor industri mengonsumsi lebih dari 30% total konsumsi listrik di Indonesia dan diperkirakan hingga tahun 2050 permintaan listrik masih didominasi oleh sektor tersebut.
“Program konservasi energi juga tetap harus dijalankan sehingga didapatkan nilai tambah yang tinggi dalam aktivitas ekonomi yang dihasilkan dari konsumsi energinya,” tuturnya.
Terkait konsumsi energi di bidang industri dan komersial, pemerintah melalui Peraturan Menteri ESDM No.26 Tahun 2021 terus mendorong peralihan listrik konvensional ke produk hijau yang ramah lingkungan melalui penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Pergeseran paradigma dan perilaku konsumen terhadap keberlanjutan dan dampak lingkungan dari produk yang dibeli, diharapkan dapat mempercepat penetrasi energi baru terbarukan (EBT) mengingat potensinya yang cukup tinggi di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian ESDM, energi surya memiliki potensi paling tinggi mencapai 3.295 GW, namun pemanfaatannya baru 0,27 GW.
“Ada kecenderungan industri-industri ini berinisiatif untuk membangun PLTS atap sendiri,” ujar Rachmawan.
Meskipun peraturan tersebut bagai dua sisi mata uang, yang di satu sisi akan menyebabkan energi listrik menjadi over supply, tapi di sisi lain menurut Rachmawan, peran industri atau swasta dalam meningkatkan konsumsi energi terbarukan, yang tidak hanya terbatas pada PLTS, untuk aktivitas produksi atau bisnisnya perlu disambut baik. Hal ini dikarenakan terbatasnya kemampuan keuangan negara dalam mengejar target bauran energi dan dekarbonisasi sistem energi nasional.
Menurutnya, yang perlu dilakukan adalah terus membangun enabling environment untuk meningkatkan partisipasi industri/swasta dalam memenuhi berbagai standar kualitas kelistrikan.
“Saya yakin, pemerintah dan industri akan membangun kemitraan yang kuat dalam meningkatkan peran EBT di bauran energi,” ungkapnya optimis.
Terkait saran yang ditujukan untuk pemerintahan baru, Rachmawan berpesan agar pemerintah secara intensif mencapai target pertumbuhan ekonomi yang tinggi sambil terus menurunkan Indeks Gini (gini ratio) masyarakat. Indeks gini digunakan sebagai indikator tingkat kesenjangan pembagian pendapatan relatif antar penduduk suatu wilayah.
“Jika pertumbuhan ekonomi baik, maka daya beli masyarakat juga meningkat. Nah, tentunya akan berpengaruh pada semakin bertambahnya kebutuhan akan energi listrik,” jelas Rachmawan dikutip InilahJogja dari laman resmi UGM.
Rachmawan juga menilai pemerintah perlu terus menjaga kecepatan bahkan meningkatkan peran EBT dalam bauran energi.
Selama ini masih banyak tantangan yang harus dihadapi dalam mengakselerasi capaian target bauran energi, seperti belum ada payung hukum yang mengatur EBT secara khusus, masih adanya kebijakan yang belum sepenuhnya mendukung peningkatan bauran energi primer yang berasal dari EBT, serta kurang optimalnya partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan energi.
“Pemerintah juga perlu memikirkan berbagai terobosan model bisnis karena untuk mengakselerasi capaian target bauran energi ini dibutuhkan dana yang sangat besar,” tutupnya. (fat/kus)
Discussion about this post