DI INDONESIA, hari-hari belakangan ini, kita disajikan dengan semakin banyaknya fenomena yang menunjukkan realitas ketidakadilan sering kali terasa begitu nyata, namun seolah-olah terabaikan. Kasus-kasus seperti pelecehan seksual, kekerasan, atau konflik lainnya kerap tersembunyi di balik tumpukan masalah lain yang dianggap lebih mendesak. Suara korban sering tenggelam, menghadapi ketidakpastian dan tidakpedulian dari pihak-pihak yang seharusnya melindungi mereka. Namun, segalanya berubah saat sebuah kasus menjadi viral di media sosial. Seperti bola salju yang terus membesar, cerita-cerita yang viral di platform seperti Twitter, Instagram, atau TikTok mulai mengguncang perhatian publik.
Kasus-kasus yang sebelumnya tak tersentuh tiba-tiba menduduki puncak trending, menarik perhatian netizen, media massa, hingga para pemangku kepentingan. Dalam situasi seperti ini, tidak jarang muncul sindiran tajam bahwa “hukum tertinggi di Indonesia adalah Viral di Media Sosial.”
Tidak semua memang, namun tidak sedikit pula terjadi, ketika sebuah kasus menjadi viral, pihak berwenang baru mulai bertindak dengan gegap gempita. Seakan-akan keadilan bukanlah sesuatu yang diupayakan secara proaktif, melainkan sesuatu yang menunggu momentum popularitas di jagat digital. Fenomena ini menggambarkan betapa kuatnya pengaruh media sosial dalam menggerakkan opini publik dan mendesak penegakan hukum.
Media sosial memungkinkan suara korban yang berharap akan keadilan yang sebelumnya terpinggirkan, seakan menemukan ruang baru melalui User Generated Content (UGC). Sebuah karakter utama media sosial yang memungkinkan para penggunaan menciptakan kontennya sendiri. Menurut Nasrullah (2017:16), UGC salah satu karakteristik utama media sosial, di mana pengguna secara aktif menciptakan, memiliki, dan berbagi konten.
Hal ini memberikan kebebasan kepada individu untuk menyoroti isu-isu yang penting bagi mereka, menciptakan hubungan simbiosis antara pengguna dan budaya media baru.
Fenomena ini juga relevan dengan, teori Uses and Gratifications yang diperkenalkan oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz (1974). Teori ini menjelaskan perilaku pengguna media , yang mengungkapkan bagaimana pengguna media dapat berperan aktif dalam memilih dan menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan tertentu, termasuk menggunakan dan memilih media sosial.
Dalam kasus-kasus viral di media sosial, pengguna dengan sengaja memanfaatkan platform tersebut untuk menyuarakan ketidakadilan, menarik perhatian publik, dan menuntut perubahan.
Media sosial tidak hanya menjadi alat komunikasi tetapi juga sarana pemenuhan kebutuhan emosional, sosial, dan advokasi. Dengan kombinasi konsep User Generated Content dan teori Uses and Gratifications ini, semakin menunjukkan bahwa media sosial dapat menciptakan ruang publik digital di mana isu-isu yang sebelumnya terabaikan, menjadi perhatian publik.
Melalui partisipasi aktif pengguna, isu yang viral dapat menggerakkan opini publik, mendorong perubahan, dan menuntut penegakkan keadilan dari pihak berwenang. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana media sosial, yang digerakkan oleh penggunanya, mampu mengubah dinamika keadilan sosial di era digital.
Media Sosial menjadi Ruang Publik Baru di Era Digital?
Faktanya, beberapa fenomena semakin menunjukkan, media sosial telah berkembang menjadi ruang publik baru, tempat di mana suara-suara yang sebelumnya tak terdengar akhirnya menggema, memaksa pihak berwenang untuk bergerak. Sebuah unggahan sederhana, lengkap dengan bukti visual atau narasi emosional, mampu menggerakkan hati ribuan orang dan menyalakan percakapan yang membakar tuntutan akan keadilan. Ironisnya, fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah keadilan hanya milik mereka yang mampu mengundang empati massal di dunia maya? Seolah-olah perhatian masyarakat luas, melalui ribuan komentar, tanda suka, dan retweet, menjadi syarat utama bagi roda keadilan untuk mulai berputar. Tanpa sorotan publik di dunia maya, banyak kasus mungkin akan tetap tersembunyi, jauh dari perhatian hukum dan tanpa kejelasan bagi para korban.
Media sosial, dengan segala kekuatannya, memaksa kita untuk menghadapi kenyataan pahit: tanpa viral, tidak ada keadilan yang muncul ke permukaan.
Media sosial semakin menunjukkan fungsinya sebagai tempat di mana suara-suara yang sebelumnya tak terdengar akhirnya menggema, memaksa pihak berwenang untuk bergerak. Sebuah unggahan sederhana, lengkap dengan bukti visual atau narasi emosional, mampu menggerakkan hati ribuan orang dan menyalakan percakapan yang membakar tuntutan akan keadilan.
Ironisnya, fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah keadilan hanya milik mereka yang mampu mengundang empati massal di dunia maya? Seolah-olah perhatian masyarakat luas, melalui ribuan komentar, tanda suka, dan retweet, menjadi syarat utama bagi roda keadilan untuk mulai berputar. Tanpa sorotan publik di dunia maya, banyak kasus mungkin akan tetap tersembunyi, jauh dari perhatian hukum dan tanpa kejelasan bagi para korban.
Media sosial, dengan segala kekuatannya, memaksa kita untuk menghadapi kenyataan pahit: tanpa viral, tidak ada keadilan yang muncul ke permukaan.
Hal ini sejalan dengan konsep ruang publik yang pertama kali digagas oleh Jürgen Habermas, seorang filsuf Jerman, yang menjelaskan bahwa ruang publik adalah sebuah arena dimana individu dapat bertukar ide, berdiskusi, dan membentuk opini publik. Habermas juga menjelaskan jika ruang publik ideal adalah tempat di mana rasionalitas dan kebebasan berekspresi dapat berkembang tanpa adanya dominasi pihak tertentu.
Media sosial, dengan segala kemampuannya, dapat mempertemukan berbagai individu dari latar belakang yang berbeda, telah menciptakan sebuah ruang yang memungkinkan diskursus publik terjadi secara massal dan lebih terbuka.
Namun, dalam praktiknya, ruang publik digital ini tidak selalu bebas dari pengaruh kekuasaan atau ketidaksetaraan. Seiring berkembangnya algoritma dan logika popularitas, diskusi di media sosial sering kali dipengaruhi oleh tren dan opini yang didorong oleh viralitas, bukannya oleh substansi atau rasionalitas. Habermas menekankan pentingnya diskursus rasional dalam ruang publik, namun di media sosial, rasionalitas sering kali digantikan oleh opini yang lebih emosional dan sensasional.
Meski demikian, media sosial tetap menjadi alat yang sangat kuat untuk menggerakkan perubahan sosial dan politik. Dari gerakan sosial yang viral hingga aksi solidaritas, media sosial memungkinkan individu untuk bersuara dan mengorganisir diri, bahkan melawan ketidakadilan yang selama ini terabaikan oleh media mainstream atau institusi yang berkuasa.
Dengan demikian, media sosial menjadi ruang publik baru yang, meskipun menghadapi tantangan, memungkinkan terjadinya dialog sosial yang lebih terbuka dan dinamis. Hal ini membawa kita pada sebuah pertanyaan penting, apakah ruang publik digital yang terbentuk saat ini benar-benar mencerminkan ideal ruang publik yang digambarkan Habermas, atau justru terjebak dalam logika komersial dan manipulasi opini? Yang jelas, media sosial telah mengubah cara kita berinteraksi, berdiskusi, dan berpartisipasi dalam kehidupan publik. Ruang publik ini, sebagaimana dijelaskan Habermas (1989:36-37), harus menjadi tempat di mana perbedaan status sosial atau stratifikasi diabaikan, tetapi mengedepankan prinsip kebersamaan dan kesetaraan.
Setiap individu diberi kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya tentang isu-isu yang berkaitan dengan kehidupan pribadi maupun masyarakat luas. Dalam hal ini, media sosial memegang peranan penting dalam mendorong kemampuan komunikasi antar lapisan masyarakat, menciptakan ruang bagi mereka yang sebelumnya tidak terdengar.
Oleh karena itu, ruang publik yang berkembang melalui media sosial menjadi tempat komunikasi yang lebih bebas, meskipun masih ada tantangan dalam menghindari tekanan kekuasaan atau ketidaksetaraan. Hal ini tentunya sejalan dengan istilah ruang publik, atau dalam bahasa Jerman “Offentlichkeit” itu sendiri, yaitu keadaan yang dapat diakses oleh semua orang, menandakan sifat terbuka dan inklusif dari ruang tersebut (Hardiman, 2009:135).
Dalam media sosial, meskipun masih terdapat tantangan, ruang publik ini telah menjadi tempat yang lebih terbuka untuk diskusi dan partisipasi publik, memungkinkan terciptanya ruang bagi setiap individu untuk terlibat dalam percakapan yang lebih terbuka untuk semua pihak.
Representasi di Media Sosial dalam Membangun Kebudayaan Digital dan Pengaruhnya terhadap Perubahan Sosial
Apa yang telah dijelaskan mengenai media sosial sebagai ruang publik baru untuk menciptakan keadilan ini sangat relevan dengan konsep representasi yang dikemukakan oleh Stuart Hall. Di media sosial, representasi budaya, identitas, dan nilai-nilai sosial tidak hanya ditentukan oleh bagaimana sebuah pesan atau peristiwa disajikan, tetapi juga oleh bagaimana masyarakat mengkonstruksikan makna dari informasi yang disebarkan. Hall (1997) menjelaskan bahwa representasi adalah proses penting dalam membentuk kebudayaan, yang melibatkan pengalaman bersama, bahasa, dan konsep yang dibagikan dalam suatu kelompok. Representasi bukan hanya tentang bagaimana identitas budaya disajikan dalam teks, tetapi juga bagaimana makna dibentuk melalui produksi dan persepsi masyarakat.
Dalam konteks “No Viral, No Justice” ini media sosial berfungsi sebagai ruang publik baru dimana isu-isu sosial, seperti keadilan, bisa mendapatkan perhatian jika viral. Hal ini berkaitan dengan pendekatan reflektif dalam representasi, dimana makna dibentuk melalui ide dan pengalaman nyata yang dibagikan oleh pengguna media sosial. Selain itu, pendekatan konstruksionis juga terlihat jelas, di mana setiap individu atau kelompok yang terlibat dalam media sosial memilih dan menetapkan makna yang mereka anggap penting untuk disebarkan ke publik.
Dalam hal ini, bahasa dan media sosial menjadi alat untuk memberikan makna unik pada karya atau pesan yang disebarkan, sesuai dengan pendekatan intensional Hall. Lebih jauh lagi, media sosial berfungsi sebagai ruang dimana identitas budaya dan nilai-nilai yang dimiliki oleh individu dan kelompok dibentuk dan dibagikan, mencerminkan proses kebudayaan yang dijelaskan oleh Hall. Di platform ini, orang-orang membangun kebudayaan digital yang meliputi cara berkomunikasi, nilai sosial, serta pandangan terhadap isu-isu sosial yang berkembang. Representasi di media sosial juga melibatkan konstruksi identitas digital, di mana pengguna membentuk dan menunjukkan identitas mereka melalui unggahan, caption, komentar, dan interaksi online. Proses ini sesuai dengan pendekatan konstruksionis Hall, dimana makna dibangun oleh individu yang terlibat dalam komunikasi tersebut.
Selain itu, media sosial berfungsi sebagai tempat untuk membagikan pengalaman bersama, seperti gerakan sosial atau kampanye untuk membangun kesadaran, yang dapat mempengaruhi masyarakat secara luas. Dalam hal ini, media sosial mencerminkan dinamika sosial yang ada dalam masyarakat, tetapi juga menciptakan makna baru dan mendorong perubahan sosial yang lebih besar, seperti melalui tren atau opini yang viral.
Media sosial mengubah cara kita melihat isu-isu sosial, seperti ketidakadilan atau diskriminasi, dan mempengaruhi tindakan kolektif yang dapat mendorong perubahan.
Maka fenomena pemanfaatan media sosial untuk menciptakan keadilan melalui konten viral ini menunjukkan bahwa media sosial selain menjadi publik baru di era digital, juga berfungsi sebagai ruang untuk membentuk dan menyebarkan representasi kebudayaan digital, serta bagaimana representasi ini memengaruhi perubahan sosial dalam masyarakat. Hal ini relevan dengan pemahaman Hall tentang representasi sebagai alat yang tidak hanya menggambarkan kenyataan, tetapi juga berperan dalam menciptakan dan membentuk kebudayaan serta perubahan sosial.
Media sosial telah berkembang menjadi ruang publik baru yang memungkinkan representasi budaya, identitas, dan nilai-nilai sosial terwujud dalam kebudayaan digital. Melalui media sosial, isu-isu sosial seperti keadilan baru menjadi perhatian utama hanya ketika berhasil viral, mencerminkan pola no viral, no justice. Representasi dalam media sosial bukan sekadar pantulan realitas, tetapi juga hasil konstruksi pengguna yang membentuk makna, norma, dan tindakan kolektif. Dengan kekuatan viralitas, media sosial tidak hanya menciptakan wacana, tetapi juga mendorong perubahan sosial yang nyata, menjadikannya arena penting untuk memperjuangkan keadilan di era digital.
Namun yang menjadi pertanyaan, apakah pihak-pihak berwenang akan menjalankan tugasnya hanya ketika sebuah kasus viral dan menarik perhatian publik? Tentu saja, hal ini tidak seharusnya menjadi norma dan standar baru. Keberanian dan tanggung jawab untuk menegakkan keadilan sudah seharusnya lahir dari komitmen untuk melindungi hak-hak setiap individu, bukan berasal dari tekanan media sosial semata.
Sistem yang ideal adalah ketika keadilan ditegakkan tanpa harus menunggu sorotan publik, karena sejatinya keadilan adalah hak individu yang sudah sepatutnya tidak memerlukan panggung untuk diakui.
Oleh Ani Purwati
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta
(***)
Discussion about this post