Kyai Dahlan, Muhammadiyah, Perkaderan Keluarga dan Transformasi Kepemimpinan 

Oleh Hj Widiyastuti, SS, M.Hum

JANGAN lupakan sejarah bagaimana Kyai Dahlan melakukan perkaderan untuk putra-putrinya. Beliau menyuruh dua anak perempuannya: Siti Busyro dan Siti Aisyah, untuk sekolah umum saat beliau memulai gerakan perempuan.

Salah satu putranya, Sieradj, pernah menjadi kepala di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. RH Dhurie pernah menjadi salah satu anggota HB (Hoofdbestuur) Muhammadiyah. Jumhan menuntut ilmu ke Pakistan melalui Fonds Dahlan.

Artinya, Kyai Dahlan melakukan kaderisasi keluarga yang kuat, di mana anak-anaknya juga berkiprah di Muhammadiyah dan Aisyiyah sesuai dengan kemampuan dan tetap melalui proses yang wajar.

Lalu, kenapa ketika pemilihan Ketua Aisyiyah pertama bukan Siti Walidah, istrinya, atau Siti Aisyah, putrinya yang ditunjuk? Karena Kyai Dahlan menilai mereka tidak memiliki kompetensi cukup untuk membawa Aisyiyah saat itu dalam percaturan gerakan. Kyai Dahlan lantas menunjuk Siti Bariyah sebagai ketua.

Siti Walidah menjadi ketua sepeninggal Kyai Dahlan dan ketika beliau merasa sudah memiliki kemampuan memimpin dan membawa Aisyiyah dalam percaturan gerakan nasional.

Siti Aisyiyah menjadi ketua juga melalui proses yang wajar karena dipilih bukan karena beliau putri Kyai Dahlan.

Lalu, kenapa ketika beliau akan meninggal justru meminta Kyai Ibrahim, adik iparnya, untuk menggantikan beliau? Bukan putranya?

Sekali lagi, kecintaan Kyai Dahlan terhadap Muhammadiyah membuatnya logis berpikir tentang right man on the right place, bukan urusan jabatan turun temurun.

Transformasi kepemimpinan yang dilakukan di Muhammadiyah pasca meninggalnya Kyai Dahlan juga dilakukan dengan proses yang baik, dengan tetap mengedepankan kemampuan karena Muhammadiyah semakin besar.

Pelajaran yang diberikan Kyai Dahlan, yang saya pahami dan saya yakini adalah keikhlasan untuk menyerahkan kepemimpinan pada mekanisme organisasi Muhammadiyah karena besarnya Muhammadiyah. Bukan karena Kyai Dahlan dan keturunannya, namun dari banyak orang yang mencintai Muhammadiyah tanpa syarat.

Kalau saya dan adik saya, Ninuk Widi Maryati, pernah menjadi Sekretaris Umum (Sekum) Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah (NA), bukan karena kami keturunan Kyai Dahlan. Namun kami melalui proses perkaderan yang panjang, mulai dari bawah. Bukan ujug-ujug (tiba-tiba) methangkring (naik) di atas.

Begitu juga saudara-saudara saya yang menjadi pimpinan, semuanya melalui proses. Bukan keistimewaan akses.

Ojo pisan-pisan ngaku turunku yen durung nyemplung nang Muhammadiyah. Nyemplung itu berkiprah, bukan ngrusuhi, apalagi ngrepoti.

Kami keluarga Kyai Dahlan mengucapkan terima kasih kepada semua pimpinan dan anggota persyarikatan Muhammadiyah di semua tingkatan yang telah membesarkan persyarikatan Muhammadiyah dengan kekuatan keikhlasan.

Jariyah ini leluhur kami yang akan menerimanya, namun berterima kasih adalah kewajiban kami. Saya mencintai persyarikatan Muhammadiyah ini tanpa syarat. Dan saya yakin, banyak keluarga saya memiliki komitmen yang sama dengan saya.

Selamat bermuktamar dengan gembira. Insya Allah keikhlasan kita semua akan memunculkan pimpinan yang kuat dan amanah dalam menahkodai persyarikatan Muhammadiyah ini menuju Indonesia Berkemajuan.

Exit mobile version