Kultur Penulisan di Yogyakarta Sudah Berjejak Sejak Lama

Tradisi Warisan Tulis Menulis Sejak Abad ke-12

KETUA Umum Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena, Denny JA, menyambut gembira dikukuhkannya Pengurus Satupena Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

“Pengurus Satupena Yogyakarta hidup dalam kultur penulisan yang sudah berjejak sejak lama,” kata Denny, dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan Hazwan IJ di Pendopo Asdrafi, nDalem Pakuningratan, Sompilan, Kadipaten, Kraton, Yogyakarta, Minggu (15/5/2022).

Apalagi, ungkap Denny, pengukuhan Pengurus Satupena DIY ini juga disertai bedah buku karya penulis Satupena DIY berupa kumpulan puisi: “Kabar dari Yogyakarta”.

Denny JA mengenal dan pernah bekerjasama dengan Ketua Satupena Jawa dan Madura, Dhenok Kristianti.

Ia dipercaya tak hanya sebagai koordinator Satupena DIY. “Tapi juga sebagai Koordinator Satupena Pulau Jawa,” terang Denny.

Menurut Denny, passion dan dedikasi Dhenok selaku penulis dan guru, sudah teruji. “Bersama kawan-kawan penulis lain, saya yakin Satupena DIY mampu memperkaya Yogyakarta menjadi kota literasi,” papar Denny, yang menambahkan apalagi di Yogyakarta tradisi warisan tulis-menulis sudah berjejak sejak abad ke-12.

Pada kesempatan itu, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena, Denny JA, mengucapkan selamat bekerja dan berkarya kepada semua pengurus dan anggota Satupena DIY. “Bersama, sekecil apapun, kita akan memperkaya kota ini dengan keindahan literasi,” kata Denny.

Mengingat Yogyakarta, Denny JA langsung teringat pada kekayaan warisan budayanya. “Itu tergambar dalam Serat Baratayudha, judul sebuah naskah berbahasa Jawa kuna yang ditulis pada tahun 1157 Masehi,” kata Denny, yang menerangkan penulisnya dikenal dengan nama Mpu Sedah, di era Prabu Jayabaya dari Kediri.

Diceritakan Denny, kisah Bharatayudha kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Jawa baru dengan judul “Serat Baratayudha”, penulisnya pujangga Yasadipura I pada zaman Kasunanan Surakarta.

Di Yogyakarta, cerita Baratayudha ditulis-ulang dengan judul “Serat Purwakandha”. Ini terjadi di era pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana V. Penulisannya dimulai pada 29 Oktober 1847 hingga 30 Juli 1848.

“Serat ini tak hanya mengisahkan perang Baratayudha, sebagaimana kitab aslinya di Mahabharata,” kara Denny.

Bagi Denny, tak hanya penuh filosofi tentang karakter seorang yang ksatria. “Tampaknya, penulis serat ini juga mengadaptasinya dengan kultur lokal,” ujar Denny.

Dikisahkan pula, di sana kebesaran Prabu Jayabaya Kediri dan diakhiri sampai cerita Sri Kresna dan Arjuna ke negeri Sriwedari. “Dari kisah itu sangat terasa dunia kepenulisan di Yogyakarta sudah panjang sekali, yang sambung-menyambung hingga abad ke-12 sekitar 900 tahun lalu,” ungkap Denny. (Fan)

Exit mobile version