DALAM bulan ini masyarakat di Lampung dibuat gelisah, cemas, kesal bahkan mungkin marah atas merebaknya kasus kekerasan seksual terhadap anak yang belakangan ini terjadi.
Beberapa kasus kekerasan seksual yang paling dominan terjadi di Lampung saat ini justru dilakukan oleh bapak kandung dan guru atau pendidik, baik dari sekolah umum maupun pondok pesantren. Dimana mereka yang seharusnya sebagai pelindung, justru menjadi predator terhadap yang dilindunginya.
Kondisi ini sangat diperhatinkan aktivis pemerhati hak perempuan dan anak di daerah ini. Direktur Lembaga Pemerhati Hak Perempuan dan Anak Provinsi Lampung, Toni Fisher menilai pemerintah daerah telah gagal memberikan perlindungan terhadap anak.
“Atas kejadian kejadian itulah, beberapa hari lalu, saya nyatakan Provinsi Lampung ‘Zona Merah’ kekerasan seksual terhadap anak, dan hari ini saya nyatakan pemerintah daerah ini gagal melindungi anak anak sebagai pemilik masa depan Lampung,” tegasnya, Selasa (17/1/2023).
Berikut analisa Toni selaku aktivis lembaga yang fokus pada pemenuhan hak anak:
1. Bisa jadi pemerintah daerah di Lampung tidak menjadikan utama pada visi dan misi pemerintahannya.
2. Bisa jadi pemerintah daerah di Lampung punya visi dan misi untuk anak, namun tidak jelas dan tidak pasti implementasi nya dalam berbagai program pembangunan baik berupa sarana prasarana maupun Sumber Daya Manusia (SDM).
3. Bisa jadi pemerintah daerah dan aparatur, satker nya tidak memahami tentang tanggung jawabnya dalam perlindungan anak sesuai dengan Amanah Undang-undang, baik itu UU tentang Pemerintahan Daerah (23 tahun 2004), apalagi UU Perlindungan Anak (35 tahun 2014) di pasal 20,21,22 dll (tanggung jawab pemerintah).
4. Dan yang terakhir belum semua aparatur stakeholder pemerintah daerah yang diberi pemahaman tentang Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang KHA.
Selanjutnya, terkait implementasi tanggung jawab pemerintah dalam perlindungan anak sesuai amanah pasal 21 UU Perlindungan Anak dan Keputusan Presiden 36 tahun 1990 wujudnya ada penghargaan Predikat Kabupaten Layak Anak (KLA).
Sebagai lembaga yang terus mendorong kewajiban pemerintah daerah sejak 2013 hingga kini, dia sangat mengapresiasi bagi kabupaten/kota di Lampung yang terus berjuang mewujudkan kewajiban nya, sehingga dapat meraih predikat kabupaten/kota layak anak tersebut.
“Pemerintah Provinsi Lampung diganjar penghargaan sebagai Provinsi Layak Anak (PROVILA), jadi yang sudah disebut layak anak adalah Pemerintah Provinsi Lampung. Lalu apakah kabupaten/kota di Lampung sudah meraih predikat KLA? Saya tegas kan tidak satupun, karena semua kabupaten/kota di Lampung masih berjuang mewujudkan predikat KLA tersebut,” terangnya.
Ditegaskan nya juga, di Lampung masih predikat tertinggi nya Nindya, Metro, Lampung Timur, Tanggamus, Bandarlampung, Waykanan dan Tulangbawang, yang lain masih pada predikat Madya dan Pratama.
“Perjuangan dari kabupaten/kota inilah yang membuat Provinsi Lampung meraih predikat PROVILA. Untuk itu, kepada kabupaten/kota yang tahun ini terus berjuang, konsolidasi antar satker dan berbagai lembaga masyarakat maupun media di daerahnya, terus semangat, agar Lampung meraih predikat PROVILA makin baik lagi,” harapnya.
Berikut tahapan tahapan predikat dalam KLA, Pratama, Madya, Nindya, Utama, “dan saya berdoa, bagi kabupaten/kota yang banyak terjadi kasus kekerasan seksual terhadap anak, terutama oleh bapak kandung dan guru, tidak ditinjau status predikat nya oleh Tim Evaluator dari pusat yang berasal dari berbagai Kementerian, terutama Kementerian PPPA,” ungkapnya.
“Terakhir, untuk lebih mudah mengevaluasi dan memonitoring ada atau tidaknya wujud tanggung jawab para pemerintah daerah adalah, bisa di cek melalui RPJMD nya, ada tidak disetiap satker/OPD nya, lalu RPJMD nya terintegrasi tidak dengan RPJMN ?,” Terangnya.
Bahwa salah satu bukti bahwa peran pemerintah daerah masih kurang maksimal dalam program perlindungan anak, tambah dia, masih parsial, simbolis dan dekoratif bahkan manipulatif. (toni/fik)