IGNATIUS Sukirjiman — akrab disapa Mbah Sukir — adalah salah satu pegiat gerakan keistimewaan DIY. Ia berkiprah dari awal.
Pada bulan Agustus 1998 bersama Kelompok Barisan 41, Mbah Sukir “menduduki” DPRD DIY untuk mendesak parlemen menetapkan Sultan dan Pakualam bertahta sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.
Basis massa Barisan 41 bukan golongan kelas menengah terdidik, melainkan kalangan grassroots. Sebagian besar adalah pekerja sektor informal. Mereka militan. Berjuang tanpa pamrih.
Pada periode-periode berikut hingga puncak gerakan keistimewaan disahkan menjadi Undang-Undang pada Agustus 2012, Mbah Sukir tak pernah absen dalam berbagai gerakan jalanan.
Meski usianya telah senja, namun semangat berjuangnya mengalahkan anak-anak muda.
Style-nya sangat proletar. Ke mana-mana Mbah Sukir mengayuh sepeda. Cekeran, bersurjan dan bercaping. Caping Mbah Sukir sangat fenomenal. Bersama sohibnya yang sudah sedo (meninggal) duluan, Mas Bei Tatok, Mbah Sukir menciptakan ratusan caping yang dihiasi slogan-slogan Jawa dalam aksara Jawa. Tak lupa dilekati logo Hobo Kraton dan Pakualaman.
Mulai dari Ngarsa Dalem, Kangjeng Ratu, Kangjeng Gusti Pakualam, rayi-rayi dalem dan banyak tokoh masyarakat lainnya, pernah ia hadiahi caping.
Caping menjadi media perekat semangat persatuan dan gotong-royong. Kreasi capingnya pernah menarik perhatian salah satu stasiun televisi nasional dalam sebuah liputan khusus.
Kiprah Mbah Sukir dalam gerakan sosial di Yogyakarta dilakukan secara senyap. Namun menginspirasi. Ia pernah “diperiksa” perwira menengah Mabes Polri gara-gara memimpin aksi ruwatan Sengkuni di halaman rumah M Amien Rais di Sawitsari, Condongcatur, Sleman.
Sore ini, Selasa Legi 10 Mei 2022, Mbah Sukir berpulang lantaran gerah sepuh di RS Panti Rapih.
Tentu, kami kawan-kawannya sedih. Namun kami berusaha mengusir kesedihan dengan mengenang sikap-sikap dan kiprah jenakanya.
Saya ingat. Dalam suatu masa, Mbah Sukir pernah mengajari kami sebuah lagu. Lagu ini juga kerap dibawakan Gamelan Kyai Kanjeng.
Nora gampang wong urip merdika,
sangune kudu wani,
tan gumantung ing liyan,
madeg dhiri pribadhi,
wani korban jiwa,
raga lan pati,
jer basuki mawa bea wis mesti…
Sugeng tindak Mbah Sukir. Swarga Langgeng. (Widihasto Wasana Putra)