SESUAI dengan kebijakan yang diterapkan oleh The US Food and Drug Administration, tes antigen bisa digunakan untuk mendeteksi keberadaan virus corona yang menyebabkan penyakit COVID-19.
Pemeriksaan yang dikenal pula dengan sebutan swab antigen ini dinilai bisa mendeteksi bagian protein yang ditemukan pada virus corona lebih cepat.
Memang, FDA beranggapan bahwa tes PCR atau Polymerase Chain Reaction bisa memberikan hasil yang lebih akurat dibandingkan dengan swab antigen. Akan tetapi, proses pelaksanaan dan analisisnya ternyata membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Nah, inilah yang menjadi salah satu nilai lebih dari tes antigen, karena hasil pemeriksaan bisa didapat dalam hitungan menit.
Meski begitu, swab antigen mungkin tidak bisa mendeteksi lebih baik daripada tes PCR. Pemeriksaan ini memang spesifik untuk mendeteksi keberadaan virus, tetapi tingkat kepekaannya tidak sebaik tes PCR.
Artinya, hasil positif dari swab antigen bisa jadi sangat akurat, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya tingkat negatif palsu yang lebih tinggi.
Haruskah Swab Antigen Rutin Dilakukan?
Terlepas dari kelemahan yang dimilikinya, swab antigen dinilai bisa menjadi pemeriksaan atau skrining tahap awal deteksi penyakit COVID-19 yang terbilang efektif dengan harga terjangkau. Namun, perlukah tes ini dilakukan secara rutin?
Ternyata, tidak ada aturan yang mewajibkan seseorang melakukan pemeriksaan swab antigen secara rutin. Pemeriksaan rapid antigen memang tidak membutuhkan peralatan yang mahal dan bahan kimia yang diperlukan untuk tes PCR, sehingga tes ini bisa dilakukan dengan mudah di kantor, rumah sakit, fasilitas kesehatan, bahkan sekolah.
Selain itu, dari hasil cepat tes swab antigen menunjukkan bahwa orang yang positif terkena COVID-19 bisa langsung dilakukan isolasi dengan cepat, sebelum risiko menularkan kepada orang lain menjadi lebih besar.
Meski pemeriksaan ini memiliki rasio negatif palsu sebesar 10 persen, tetapi orang dapat dengan mudah dites berulang kali, sehingga kemungkinan hasil negatif palsu pada tes pertama bisa terdeteksi positif pada tes kedua.
Meski begitu, Otto Yang, pakar penyakit menular di University of California, Los Angeles, berpendapat bahwa rasio negatif palsu tetaplah berbahaya, meski hanya sebesar 1 persen.
Pasalnya, seperti dikutip halodoc.com Selasa 13 April, ini akan meningkatkan kemungkinan pakar kesehatan memberikan diagnosis yang keliru pada orang yang sebenarnya telah terinfeksi virus corona.
Bagaimana pun juga, kesalahan diagnosis jauh lebih buruk dibandingkan dengan tidak adanya diagnosis.
Berbeda dengan Yang, Bettina Fries, Chief bagian Penyakit Menular di Stony Brook University menyatakan bahwa meski ada sensitivitas yang tidak sempurna dari swab antigen, pengujian berulang pada akhirnya menunjukkan hasil yang diinginkan. Sudah pasti, semua metode pemeriksaan tidak ada yang sempurna, meski akurasinya lebih sensitif seperti halnya PCR.
Melakukan Deteksi Dini dengan Swab Antigen
Terlepas dari semua kekurangan yang ada, tes swab antigen memang mampu memberikan hasil yang cepat dengan tingkat akurasi yang terbilang lebih baik dibandingkan dengan tes rapid antibodi, meski tidak sebaik tes PCR. (sal/twi)