TERLAHIR dan besar dalam lingkungan Keraton, juga sebagai putri seorang Gubernur DIY yang terkemuka dan nama orangtuanya dikenal seantero tanah air, pastilah orang membayangkan sebagai sosok yang megah-mewah, pakaian dan asesoris branded, kaku di muka publik yang membuat tak semua orang berani menyapanya.
Bisa jadi banyak keluarga pejabat, tampil elitis dan “berjarak” dengan masyarakat umum. Jangan bayangkan GKR Mangkubumi seperti itu.
Sosok GKR Mangkubumi, yang sebelum Sabdatama dikenal dengan nama GKR Pembayun dan disiratkan sebagai calon pengganti Sri Sultan Hamengkubuwono X, dalam kegiatan sehari-hari, sangat jauh dari penampilan wah, mewah ataupun elitis.
Sehari-hari ia mengendarai mobil dengan menyopir sendiri. Ia dapat dikatakan sebagai outlier untuk orang-orang kebanyakan yang “sekelas” dengannya.
Belasan tahun lalu, saat pertama kali saya bertemu GKR Mangkubumi, beliau bertamu ke ruang saya (saat itu Rektor UII Yogyakarta), mengantarkan salah satu finalis putri Indonesia yang mahasiswi UII.
Saya membayangkan tamu saya seorang putri gubernur, tokoh yang sudah sangat dikenal seantero DIY, pastilah sangat wah. Walau sering melihat sosoknya di televisi dan media massa, saya terkesima: sangat sederhana, santun, dan tidak menunjukkan sebagai seorang putri Raja yang namanya sudah dikenal dan meng-Indonesia.
Beliau terlihat apa adanya. Pakaian sederhana dan tidak terlihat make-up berlebihan di wajahnya. Justeru mahasiswi saya yang terlihat lebih modis! Namun itu membuat saya menjadi lebih respect. Dengan kesederhanaannya justru menjadi lebih anggun dan elegan.
Sekian tahun kemudian, interaksi saya lebih banyak dengan sosok elegan tersebut, Gusti Mangku, begitu saya memanggilnya. Kami bersama sebagai anggota Parampara Praja, lalu sebagai pengurus Yayasan Mataram, dan saya menjadi Rektor Universitas Widya Mataram.
Ternyata, kesan awal yang saya lihat dulu tidak berubah sampai sekarang: masih apa adanya, berbicara lembut dan tenang, dengan pakaian sederhana tanpa banyak asesoris. Tetap akrab dengan siapapun. Tentu bobot bicara berbeda, sesuai tambahnya pengalaman beliau.
Emosi terkendali
Dalam forum Parampara Praja, yang bertugas memberikan pertimbangan, saran dan pendapat (PSP) kepada Gubernur DIY, Gusti Mangku sama sekali tidak mendominasi lembaga ini, walau tentu ia punya akses paling dekat dengan yang diberi PSP itu.
Ia menyampaikan pemikirannya tanpa bermaksud mendikte, harus diterima, tetapi tetap terbuka untuk didiskusikan. Beliau juga cukup rajin dalam petemuan-pertemuan penting Parampara Praja. Selalu menyampaikan pamit manakala tidak bisa hadir.
Saat kunjungan ke desa atau luar DIY, tentu sosok GKR Mangkubumi menarik perhatian bagi yang mengetahuinya. Ajakan bicara singkat hingga berfoto dilayani dengan senyum oleh GKR Mangkubumi.
Tidak terlihat kejengkelannya walau terkadang kita sedang berada dalam sebuah acara. Sisi lain, dia sebagai pribadi yang selalu senyum. Tidak pernah saya melihat dalam forum menunjukkan rasa marah. Bahkan saat berbicara informal, menyampaikan ketidaksukaannya pada sesuatu atau pada tingkah seseorang yang menurutnya tidak layak, ia tetap menuturkan dengan cool, tanpa ekspresi marah atau nada yang tinggi.
Emosinya sangat terkendali. Jika “kejengkelannya” memuncak, sekadar ditunjukkan dengan mengurangi sedikit tarikan bibirnya untuk tersenyum seperti biasanya, senyum dan ketawa khasnya yang segar.
Sederhana bukan berarti tidak rapi. Dia figur yang rapi, peduli dengan kerapian. Suatu saat menjelang wisuda di UWM beliau hadir. Pada pimpinan universitas, fakultas dan prodi sibuk mematut diri, dengan toga dan dasi.
Saya sendiri sudah merasa rapi dan pas pakaian saya. Ternyata Gusti Mangku melihat pemasangan dasi saya kurang simetris. Tanpa sungkan dengan didahului minta izin, ia memperbaiki pemasangan dasi saya sehingga lebih tepat.
“Saya tidak menyangka Gusti mau melakukan itu. Sungguh membuat kita merasa dekat dan tak canggung dengan beliau,” kata salah satu anggota Senat UWM, yang saat itu menyaksikan keakraban GKR Mangkubumi dan Rektor.
Dekat siapa pun
Ya, kedekatan dengan siapapun merupakan sisi lain berikutnya dari GKR Mangkubumi. Kedekatan itu ditunjukkan seringnya hadir dalam acara-acara yang dadakan di pelosok desa hingga hotel berbintang lima.
Saya melihatnya sangat energik dan gerak-langkahnya relaks. Jadi mafhum kalau semua lapisan masyarakat banyak mengenalnya.
Suatu saat saya bersamanya ke desa Gedangsari yang masuk desa miskin di DIY. Tidak terlihat kecanggungannya berbicara dengan penduduk, aparat dusun, termasuk menyantap menu suguhan sederhana yang disediakan.
Satu hal yang membuat saya respect adalah sikapnya menghargai orang tua. Dalam banyak hal, seperti ketika memasuki ruangan, mengambil makan saat buffet atau lainnya, saat melihat ada yang lebih tua, ia selalu mempersilakan yang tua lebih dulu. Ini sering membuat saya yang lebih tua terkadang sungkan, namun tetap mengikuti tatakramanya.
Bahkan, pernah suatu kali kita bersama beberapa anggota Parampara Praja berada di satu mobil Kijang, sebagai bentuk penghormatan dipersilakan GKR Mangkubumi duduk di kursi bagian tengah. Namun karena yang lebih tua ada tiga orang, dan kursi tengah dan depan hanya bisa tiga orang, tanpa sungkan ia menolak duduk di tengah atau depan.
Dengan ringan, calon ratu tersebut mengambil duduk di baris paling belakang bersama anggota lain yang lebih muda.
Kesantunan yang jarang dimiliki sosok yang dari segi keluarga, jabatan dan kekayaan melebihi yang lainnya. Sosok yang di dalam tubuhnya mengalir darah biru, bangsawan, ningrat yang biasanya sangat agung dan “mengerikan”.
Bagaimana dengan makan? Sosok ningrat ini tidak pernah pilih-pilih. Saat di luar daerah, kita pernah ke Bangka, Medan, Lombok dan sebagainya, ia tidak pilih-pilih makan. Saat di Medan, tak menolak diajak makan Durian Ucok yang fenomenal atau makan di resto yang sederhana di Pangkalpinang yang menyajikan masakan lokal.
Saat dalam rapat atau pertemuan di Parampara Praja atau kampus UWM, dia menyerahkan pilihan menunya kepada selera yang lain. Suatu sikap yang menggambarkan tidak ingin diberikan priviledge berlebihan padanya atau mendiktekan keinginan seleranya pada yang lain untuk hal yang tidak terlalu substantif.
“Saat makan siang di Widya Mataram baru-baru ini, dengan menu kotakan nasi Kapau yang penuh tampak sangat berminyak tanda kolesterol tinggi, iapun dengan santai menikmati dan tidak memikirkan efeknya, yang penting enak. Gak usah dipikirin efeknya,” ujar Wakil Rektor 3 UWM, Puji Qomariyah, mengulangi ujaran GKR Mangkubumi sambal tertawa.
Happy ambalwarso Gusti Mangku… Semoga selalu sehat, bahagia, sejahtera bersama rakyat Yogyakarta dan dalam lindungan Yang Maha Kuasa. Aamiin yaa rabbal alaamiin.
Edy Suandi Hamid, Rektor Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta dan anggota Parampara Praja