Dokter Lois dan Peran Media yang Tidak Kondusif

Satrio Arismunandar. @foto dok pribadi

BEBERAPA hari terakhir ini, media sosial diramaikan oleh pemberitaan tentang doker Lois Owien, yang meraih popularitas dadakan berkat klaim-klaim sensasional.

Dokter lulusan FK UKI ini diwawancarai di acara Hotman Paris Show di iNews TV, yang tayang pada 8 Juli 2021. Di acara itu, Lois menegaskan, ia tidak percaya dengan segala teori terkait virus Corona. Ia juga mengaku, tidak pernah memakai masker kemana pun.

Gara-gara pernyataan sensasionalnya itu, Lois lalu justru diwawancarai lebih lanjut di podcast Babeh Aldo. Dalam sesi wawancara itu, Babeh Albo mengatakan, dia sejak awal juga sudah skeptis dengan segala hal yang terkait Covid-19, dan dia banyak sepakat dengan pendapat dokter Lois yang anti-mainstream.

Podcast Babeh Albo ini hanya bertahan 5 jam dan sudah dihapus oleh Youtube, walaupun copy-nya masih beredar di media sosial. Youtube menghapus podcast ini karena kontennya yang bertentangan dengan protokol kesehatan arahan pemerintah dan WHO, dan berpotensi mendorong warga untuk melanggar protokol kesehatan di era pandemi.

Dalam wawancara dengan Babeh Aldo, Lois menyatakan, virus Corona atau Covid-19 hanyalah isu “bohong-bohongan.” Bahwa banyak pasien Corona yang meninggal sebetulnya bukan disebabkan oleh virus, tetap karena interaksi antar-obat. Yakni, kesalahan cara pemberian obat oleh para dokter di rumah sakit.

Ucapan dokter Lois seperti mengajak masyarakat untuk tidak percaya pada ancaman bahaya Covid-19. Serta, untuk tidak percaya pada penanganan rumah sakit dan obat-obatan. Itu baru sebagian dari ucapan dokter Lois yang kontroversial.

Hal itu saja dampaknya sudah merusak dan berbahaya bagi masyarakat awam, yang mungkin akan menelan mentah-mentah omongan Lois.

Dianggap Urusan Main-main
Ucapan dokter Lois merupakan pembalikan 180 derajat dari apa yang diyakini selama ini, di mana negara-negara di seluruh dunia sibuk mencari dan memproduksi vaksin untuk meredam pandemi. Vaksinasi di Indonesia juga sedang digenjot, untuk meredam gelombang kedua virus dari varian baru yang lebih cepat menular.

Dalam kondisi kalut di tengah pandemi, segala informasi baru yang sensasional seperti omongan dokter Lois tampak cepat menyebar dan viral. Banyak kalangan masyarakat awam, yang tidak paham dengan seluk beluk urusan virus, begitu heboh dan bergairah menyebarkan omongan dokter Lois.

Ucapan dokter Lois jelas telah mengganggu program vaksinasi dan upaya mengatasi pandemi, karena ancaman Covid-19 menjadi dianggap urusan main-main dan tidak serius.

Kehebohan ini kemudian memicu reaksi dari komunitas dokter, khususnya dari rekan-rekan lama dokter Lois sendiri di FK UKI. Komentar mereka di media sosial menyatakan, dokter Lois sudah lama tidak berpraktik lagi. STR atau Surat Tanda Registrasinya sudah habis masa berlakunya sejak 2017, jauh sebelum ada Covid-19.

STR merupakan bukti tertulis yang diberikan pemerintah kepada tenaga kesehatan yang telah memiliki sertifikat kompetensi. Dokter yang telah memiliki STR dapat melakukan aktivitas pelayanan kesehatan.

Yang lebih gawat, di media sosial rekan-rekan dokter Lois menyatakan, dokter Lois pernah menderita depresi berat, dan terindikasi memiliki gangguan jiwa atau ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa).

Dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas status kejiwaan dokter Lois, karena saya tidak punya otoritas dan kapasitas untuk hal itu. Namun, saya hanya ingin bicara tentang praktik jurnalisme di media kita di tengah krisis pandemi.

Di tengah pandemi, publik membutuhkan gaya pemberitaan media yang kondusif dan mendukung ke arah penyelesaian krisis. Media harus membangkitkan optimisme publik bahwa pandemi ini bisa diakhiri dan harus secepatnya diakhiri.

Oleh karena itu, media sepatutnya mendorong pemberitaan yang memberi manfaat bagi warga untuk bangkit dari krisis.

Sensasional dan Bombastis
Kita mengapresiasi media yang telah menyebarkan informasi tentang manfaat vaksinasi, pentingnya penegakan protokol kesehatan, cara-cara peningkatan imunitas, dan sebagainya.

Kita juga menghargai media yang telah mengkritisi cara-cara penanganan Covid, yang tentunya masih memiliki kelemahan dan kekurangan di sana-sini. Kritik ini adalah bagian dari upaya untuk perbaikan pelayanan publik.

Namun, sayangnya di media kita juga ada gaya pemberitaan yang lebih membangkitkan pesimisme, seolah-olah karena Covid maka Indonesia akan “kiamat.” Atau, ada juga gaya pemberitaan yang lebih mengedepankan aspek-aspek sensasional, bombastis, dan kontroversial.

Hal itu sepintas terlihat “wow,” walaupun jika dicermati sesungguhnya narasi itu tidak masuk akal, terlalu mengada-ada, dan sama sekali tidak mengedukasi publik. Kasus dokter Lois adalah salah satu contohnya.

Jurnalis harus cermat dan hati-hati dalam memilih nara sumber, karena informasi dari nara sumber akan dikonsumsi publik. Apakah nara sumber ini memang memiliki kompetensi, kapasitas, otoritas, atau kredibilitas untuk menyampaikan pesan tertentu di publik? Apalagi untuk isu-isu krusial, seperti hakikat ancaman virus dan cara penanganan virus.

Bahkan, jika jurnalis belum sepenuhnya mengetahui latar belakang si nara sumber, dia seharusnya bersikap kritis ketika nara sumber mulai membuat klaim yang aneh-aneh atau bombastis.

Ketika nara sumber mengklaim bahwa virus Corona itu hanyalah “bohong-bohongan,” dan bahwa penyebab kematian pasien Corona bukanlah karena virus, tetapi karena interaksi antar-obat, si jurnalis seharusnya mulai mempertanyakan kredibilitas sumbernya.

Menurut data Johns Hopkins University di Amerika, jumlah kematian karena Covid di seluruh dunia per 9 Juli 2021 sudah lebih dari 4 juta jiwa. Yang terpapar Covid sudah lebih dari 185,5 juta orang. Dengan menggunakan akal sehat dan logika sederhana, melihat jumlah korban sebanyak itu, bagaimana mungkin virus Corona itu bisa dibilang tidak ada, dan isu Covid ini hanya “bohong-bohongan?”

Lalu, apakah para dokter di seluruh dunia itu sebegitu bodohnya, sehingga 4 juta pasien Corona telah meninggal semata-mata karena “interaksi antar-obat?” Kekeliruan dalam memberi obat bisa saja terjadi. Tetapi seberapa gelintirkah dari 4 juta pasien itu yang meninggal karena “interaksi antar-obat,” dan bukan karena faktor virusnya itu sendiri?

Perilaku Tidak Kondusif
Dalam wawancara terhadap dokter Lois oleh Babeh Aldo, sikap kritis itu tidak muncul. Ini karena Babeh Aldo sendiri sejak awal memang sudah memiliki skeptisisme terhadap segala isu virus Corona. Dokter Lois dipilih menjadi nara sumber justru karena sejak awal mereka “satu kubu,” dalam meragukan keberadaan virus Corona dan langkah-langkah pemerintah untuk mengatasi virus Corona.

Maka yang menjadi masalah kini bukan lagi nara sumber yang tidak kredibel, tetapi perilaku pengelola atau pemilik media yang memang tidak kondusif.

Mereka dengan sengaja memberi panggung pada nara sumber yang dipilih berdasarkan “asalkan anti-mainstream”atau “berani berlawanan dengan versi pemerintah/WHO.” Ditambah unsur kontroversial, sensasional, dan bombastis. Selain tentu kepentingan komersial dan mengejar rating.

Dengan perilaku semacam itu, sejumlah media di Tanah Air praktis tidak mendukung langkah-langkah ke arah penyelesaian krisis pandemi. Dan di era media sosial, dampak kerusakan yang mereka hasilkan menjadi berlipat ganda.

Hal ini karena narasi yang mereka ciptakan diviralkan secara suka rela bahkan secara bersemangat oleh warga net, yang mayoritas tidak punya pemahaman utuh tentang seluk beluk Covid-19. Belum lagi kita memperhitungkan pihak-pihak, yang dengan berbagai alasan dan kepentingan sejak awal memang berniat “mentorpedo” program penanganan Covid-19 oleh pemerintah.

Hal ini sepatutnya menjadi catatan tersendiri bagi para pemangku kepentingan yang berkaitan dengan media. Seperti: para jurnalis, organisasi profesi jurnalis, praktisi media, kalangan akademisi, Dewan Pers, dan Menkominfo. Media seharusnya berperan kondusif dalam upaya bersama seluruh bangsa dalam mengatasi krisis pandemi.

Penulis: Satrio Arismunandar, Pemimpin Redaksi majalah pertahanan Armory Reborn sekaligus anggota Dewan Redaksi InilahJogja

Exit mobile version