PENGUSAHA Fery Tanaya telah mendapatkan vonis bebas dari majelis hakim Pengadilan Tipikor Ambon yang diketuai oleh Pasti Tarigan dalam kasus pembayaran lahan PLTMG di Namlea, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku.
Sidang dengan agenda pembacaan putusan yang berlangsung pada Jumat (06/08/2021) itu tentu sangat disambut baik oleh pihak terdakwa. Apalagi, vonis ini sangat bertolak belakang dengan tuntutan JPU Kejati Maluku yang menginginkan Fery Tanaya dihukum 10,6 tahun penjara.
Menyikapi putusan tersebut, salah satu penasehat Fery Tanaya, Henri Lusikooy menyatakan meskipun gembira, namun di sisi lain ada rasa ketidakpuasan. Sebab, sejak awal Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku terlalu memaksakan kehendak untuk mempidanakan kliennya dan terkesan bertindak sewenang-wenang.
“Dengan putusan bebas ini, ketidak puasan masyarakat dari berbagai kalangan atas tuduhan dakwaan penyidik Kejati Maluku bahwa Fery Tanaya sebagai pelaku tindak pidana korupsi terjawab sudah melalui putusan majelis hakim PN Ambon yang menyidangkan perkara tersebut pada hari ini,” kata Lusikooy Minggu 8/8/2021.
Penasehat hukum yang sejak awal selalu mengeluarkan statmen keras saat kasus ini bergulir di tangan Kejati Maluku mengatakan, dalam putusannya hakim menyatakan Fery Tanaya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana yang didakwakan penuntut umum dalam dakwaan primer maupun subsider.
Selanjutnya, membebaskan terdakwa dari semua dakwaan penuntut umum dan dibebaskan dari tahanan.
Berikutnya, merehabilitasi harkat dan martabat dalam kedudukan dan kemampuan seperti sedia kala, serta menyatakan barang bukti dipakai dalam perkara atas nama AGL dan membebankan biaya perkara kepada negara.
Lanjut Lusikooy, kendati PN Ambon telah memutuskan Fery Tanaya bebas murni, namun dirinya tetap saja menyayangkan sikap dan tindakan pihak penyidik Kejati Maluku yang terkesan memaksakan kehendaknya untuk memperkarakan kliennya itu. Padahal, sejak awal telah nampak banyak kejanggalan.
Masyarakat, tambah Lusikooy, juga menunggu dan berharap adanya babak baru agar Fery Tanaya yang terzolimi dapat melakukan upaya hukum terhadap institusi penegak hukum yang telah bertindak sewenang-wenang.
Langkah ini perlu diambil agar tidak ada lagi Fery Tanaya baru dalan proses penegakan hukum di Provinsi Maluku, bahkan di Indonesia.
“Masyarakat juga menyayangkan Kajati Maluku Roro Zega yang sejak awal begitu getol dalam perkara ini, lewat sejumlah pernyataannya di media masa telah keburu angkat kaki dari Kejati Maluku. Padahal bila beliau ada, maka setidaknya beliau bisa melihat sendiri hasil karyanya selama menjabat sebagai Kajati Maluku,” paparnya.
Terlebih lagi, lanjutnya, atas indikasi kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pihak Kejati Maluku yang sebelumnya telah menetapkan Fery Tanaya sebagai tersangka, telah berakibat fatal pada terbengkalainya proyek tersebut.
“Bahwa akibat persoalan hukum yang tidak jelas ini, maka pasokan listrik yang sudah sangat didambakan oleh masyarakat Pulau Buru juga menjadi tidak jelas,” paparnya.
Perlu diketahui, dalam pertimbangannya, hakim Pengadilan Tipikor Ambon menyatakan Fery Tanaya berhak untuk menerima ganti rugi terhadap lahan seluas 48.645 meter persegi, karena lahan tersebut sudah dimiliki terdakwa sendiri lebih dari 31 tahun. Sementara, tanah yang diklaim sebagai tanah negaraa hingga saat ini tidak dipedulikan oleh pemerintah.
Itu artinya, hak yang ada pada terdakwa tidak bisa dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.
Sedangkan sebelumnya, Jaksa dalam tuntutannya meminta hakim menghukum Ferry Tanaya 10,6 Tahun penjara. Selain pidana badan, jaksa juga menuntut Fery Tanaya membayar denda sebesar Rp 1 Miliar subsider enam bulan penjara, serta uang pengganti atas kerugian Negara sebesar Rp 6.081.722.920 dengan subsider 4 tahun 3 bulan kurungan penjara. (elv/zal)