SEMPAT diberitakan kehabisan modal, PT Putra Mas Pratama Pacifik (PMPP) selaku Pengembang Perumahan Bumi Progo Makmur yang berlokasi di Kalipetir Kidul, Margosari, Pengasih, Kulonprogo yang berhasil ditemui Tim media setelah melalui penelusuran panjang, melalui pencarian di alamat kantor lama di wilayah Janti dan ternyata kini menempati kantor baru di wilayah Kotabaru, Yogyakarta, akhirnya buka suara dan mengklarifikasi terkait berhentinya proses pembangunan perumahan tersebut.
Direktur Utama PT Putra Mas Pratama Pacifik, Tri Wahono dalam klarifikasinya menyebutkan, bahwa ada beberapa pihak yang berkaitan dengan kemacetan proyek perumahan Bumi Progo Makmur, yaitu, PT PMPP sendiri sebagai pengembang dan beberapa Sub-Kontraktor yang ikut dalam persiapan lahan, seorang pengusaha besi beton yang kondang di DIY yang mengaku sebagai investor dan seorang Notaris yang cukup terkenal di wilayah Sleman.
Diakui Tri bahwa proyek perumahan tersebut terhenti karena kesalahan pihak Direksi PT PMPP dalam memilih mitra kerja sehingga akhirnya proyek terkunci tidak bisa bergerak. “Persoalan utama bukanlah pada masalah pendanaan, karena ada beberapa Bank yang sudah memberikan komitmen untuk mengucurkan dana. Namun persoalan justru datang karena adanya niatan tidak terpuji dari investor,” ujar Tri, Kamis (29/4/2021).
Pada kesempatan wawancara kali ini, secara singkat Tri Wahono didukung beberapa staffnya menyampaikan kronologi kejadian hingga proyek berakhir mangkrak. “Dimulai dari tahun 2014, PT PMPP mulai membebaskan lahan untuk perumahan pegawai di wilayah Kalipetir yang tadinya akan menjadi kota satelit, karena Kota Wates sudah begitu padat. Gayung bersambut, ide tersebut didukung oleh pihak Pemda yang membutuhkan area perumahan bagi ASN yang belum memiliki rumah. Pengurusan ijin berjalan lancar dan pembangunan siap dijalankan. Namun karena pembebasan lahan sedang berlangsung dan PT membutuhkan dukungan dana, sehingga berusaha menggandeng pendana maupun Bank,” jelasnya.
Dipaparkan Tri Wahono, pada awal tahun 2016 salah satu Bank Pemerintah Daerah tertarik untuk memberikan kredit konstruksi dan KYG sebesar Rp 15 miliar, namun pada saat bersamaan melalui salah seorang kenalan menyampaikan adanya calon investor yang berminat dan menurut pengakuannya mempunyai dana cukup besar, sambil menunjukkan rekening salah satu bank BUMN sebesar Rp 21 miliar, milik calon investor tersebut. “Tercapai kesepakatan bahwa investor akan mengucurkan dana Rp 3 miliar diawal untuk pelunasan tanah, pembayaran biaya-biaya yang telah dikeluarkan PT PMPP dan juga untuk persiapan pembangunan rumah,” kata Tri.
Ditambahkan oleh Tri Wahono bahwa investor akan mencukupi kebutuhan pembangunan unit-unit rumah dengan syarat pengalihan saham 60% dan pembagian hasil akhir 60% untuk investor. “Pada tanggal 28 Oktober 2016, kesepakatan dituangkan dalam surat kesepakatan yang draftnya sudah disiapkan oleh Notaris. Ternyata ditunggu sampai siang investor tidak muncul. Saat itu staff Notaris menyatakan sanggup memintakan tanda tangan investor, sehingga pihak perseroan yang diwakili oleh saya sendiri sebagai Direktur Utama dan saudara Iskandar sebagai Komisaris Utama, dan seorang perantara yang bertindak sebagai penghubung sekaligus penjamin, membubuhkan tanda tangan diatas draft tersebut,” katanya.
“Sehari sebelumnya, saya sudah memberi tahu pemilik lahan untuk standby tanggal 28 Oktober 2016. Begitu perjanjian kerjasama usaha sudah ditanda tangani, maka pelunasan akan dilakukan. Siang harinya tanggal 28 Oktober 2016, para pemilik lahan diminta hadir di kantor Notaris. Sebelumnya investor meminta saya untuk menanda tangani daftar tanda terima uang sebesar dana yang dipakai untuk pelunasan terlebih dahulu didepan notaris, baru kemudian pelaksanaan pelunasan lahan dilakukan. Setelah saya menanda tangani daftar penerimaan uang pelunasan yang telah disiapkan oleh Notaris, investor mentransfer dana pelunasan ke rekening pemilik lahan. Pada saat itu pihak Perseroan melihat bahwa investor memiliki komitmen dan dana awal untuk pelunasan,” imbuh Tri.
Setelah pembayaran, lanjut Tri Wahono, minggu berikutnya investor turun ke lokasi dan menunjuk seseorang sebagai koordinator lapangan untuk melakukan revisi cut and fill lahan. Sehingga biaya cut and fill membengkak dan investor tidak mengeluarkan dana sama sekali. “Akibatnya tagihan alat berat membengkak dan banyak pihak terutama sub-kontraktor yang dirugikan, menuntut dan protes ke PT PMPP,” katanya.
Namun sampai beberapa minggu berlalu, investor belum membubuhkan tanda tangan di surat kesepakatan, sehingga pihak perseroan merasa khawatir. “Namun penghubung yang sekaligus penjamin meyakinkan bahwa investor pasti akan tanda tangan dokumen tersebut. Untuk lebih meyakinkan pihak perseroan, pada tanggal 6 November 2016, dibuat Surat Perjanjian Kerjasama Usaha yang ditanda tangani oleh saudara Iskandar dan saya mewakili perseroan dan penghubung mewakili investor, karena kebetulan masih mempunyai hubungan keluarga,” tambah Tri.
Anehnya setelah membayar pelunasan tanah dan uang operasional sebesar Rp 170 juta, investor berhenti menyediakan dana investasi seperti yang disepakati sebesar Rp 3 miliar. Bahkan meminta kembali uang yang sudah diinvestasikan. “Pada bulan November 2016, investor secara sepihak merubah investasi menjadi pinjaman dengan bunga yang cukup tinggi. Saya menolak perubahan tersebut, sehingga terjadi perdebatan yang disaksikan oleh Notaris dan penghubung,” ucap Tri kembali.
Melihat gelagat kurang baik, untuk mengatasi masalah pendanaan, Tri Wahono mengaku mencari pinjaman dari salah satu Bank Syariah. “Proses berjalan lancar dan pada tanggal 14 Juli 2017, pihak Bank mengeluarkan SP3-Surat Pemberitahuan Persetujuan Pinjaman sebesar Rp 5,5 miliar. Syarat yang harus dipenuhi antara lain, Ijin Penggabungan dan Ijin Lokasi. Ijin Lokasi tidak masalah karena Pemda Kulon Progo sangat mendukung dan telah mengeluarkan ijin prinsip untuk pembangunan 700 unit rumah. Namun persyaratan penggabungan sertifikat menjadi SHGB Induk tergantung pada investor dan Notaris yang telah merubah pelunasan menjadi PPJB atas nama investor,” papar Tri.
Pada hari yang sama, Tri Wahono didampingi penghubung dan seorang staff perseroan meminta kepada investor untuk menggabungkan Sertifikat menjadi SHGB Induk atas nama PT PMPP tetapi ditolak. “Kemudian kami bertiga ke Notaris untuk meminta bantuan membujuk investor agar mau menggabungkan sertifikat. Namun upaya Notaris membujuk juga gagal, bahkan investor malah meminta pengembalian uang cash sebesar Rp 1,85 miliar sebagai syarat sertifikat boleh digabungkan menjadi SHGB Induk,” kata Tri.
Kemudian Tri Wahono berkonsultasi dengan Direksi salah satu Bank Syariah tentang situasi yang dihadapi dan keharusan membayar cash kepada investor untuk dapat menggabungkan sertifikat sebagai syarat pencairan kredit. “Akhirnya pihak Bank menawarkan jaminan bahwa uang investor akan di kembalikan menggunakan Standing Instruction (SI). Namun tawaran tersebut juga ditolak oleh investor dan tetap meminta dana cash. Lagi-lagi saya meminta bantuan Notaris disaksikan penghubung untuk membujuk investor menerima SI Bank Syariah, namun investor tetap bersikukuh meminta uang cash,” katanya.
Hingga akhirnya SP3 kadaluwarsa pada tanggal 14 September 2017, sehingga tidak bisa di proses lebih lanjut. “Akibatnya kebutuhan dana proyek tidak bisa terpenuhi, tagihan-tagihan dari kontraktor, supplier, dan lain-lain, serta pinjaman ke pribadi dan BPR/Koperasi tidak terbayar. Masalah ini berlarut-larut hingga sekarang,” kata Tri.
Dalam keterangannya, Tri Wahono juga menambahkan bahwa salah satu Komisaris yang sejak akhir tahun 2020 menjadi pemegang saham, telah mengajak diskusi investor untuk mencari win-win solution namun dengan berbagai alasan menghindar hingga saat ini. “Bahkan dalam salah satu diskusi via telepon, investor minta pengembalian dananya sebesar Rp 2,25 miliar dengan asumsi pinjaman sebesar Rp 1,3 miliar plus bunga 5% per bulan. Komisaris Perseroan menolak keras karena menurutnya tidak ada bisnis yang bisa menghasilkan return sebesar 5% per bulan,” tegas Tri
Tri Wahono juga menyampaikan beberapa hal yang masih menjadi tanda tanya besar bagi dirinya dan Direksi Perseroan, antara lain, alasan investor tidak menanda tangani surat kesepakatan yang disiapkan oleh Notaris dan sudah ditanda tangani oleh para pihak kecuali dirinya. “Investor yang sempat menunjukkan ketersediaan dana sekitar Rp 21 miliar di rekening salah satu Bank BUMN, tapi setelah mengeluarkan dana Rp 1,2 miliar ternyata tidak memiliki dana lagi, sehingga pembayaran kepada kontraktor macet dan mereka menuntut kepada PT PMPP,” katanya.
Pada tanggal 22 Oktober 2018 (hampir 2 tahun kemudian), disebutkan Tri Wahono, Notaris membuat Surat Keterangan bernomor 154/SK-Not/X/2018, yang menerangkan bahwa investor telah membeli 4 bidang tanah atas nama 3 orang pemilik lahan. “Pada tanggal 24 April 2019, Notaris membuat Surat Keterangan tanpa nomor yang menyatakan bahwa investor telah membeli 4 bidang tanah atas nama 3 orang dengan Akta Perikatan Jual Beli (APJB) nomor 206, 204 dan 208. Hal ini bertentangan dengan kenyataan bahwa investor hanya melakukan pelunasan lahan, dan seharusnya tidak bisa dilakukan APJB. Dengan Sertifikat tidak bisa digabungkan menjadi SHGB Induk, siapapun dengan dana seberapapun tidak dapat melanjutkan proyek perumahan tersebut,” terangnya.
Dengan situasi tersebut dan sulitnya menghubungi investor hingga saat ini, Tri Wahono menyimpulkan ada unsur kesengajaan untuk mengganjal proses penggabungan sertifikat sehingga proyek mangkrak, tagihan dan kewajiban membengkak dan harus ditanggung sendiri oleh PT PMPP. “Padahal seharusnya investor justru paling bertanggung jawab,” katanya.
Lebih lanjut Tri Wahono menyampaikan besarnya tekanan dari para pihak yang merasa dirugikan hingga sempat terjadi penganiayaan. “Yang paling parah adalah Pemda Kabupaten Kulonprogo yang selama ini sangat mendukung pembangunan perumahan di wilayah Kalipetir, bisa menganggap PT PMPP tidak mempunyai niat baik dalam melaksanakan kepercayaan yang diberikan untuk penyediaan perumahan bagi ASN yang membutuhkan,” pungkas Tri. (mar)
Discussion about this post