RICHARD Mille dikenal orang sebagai jam tangan mewah, nama itu identik dengan kemewahan tingkat tertinggi. Harga sebuah modelnya bisa melampaui mobil sport, dan proses pemesanannya tidak seperti membeli jam di toko: perlu relasi, reputasi, dan kesabaran.
Itulah yang dijalani oleh Tony Trisno. Sejak 2019, ia memesan dua jam tangan Richard Mille RM 57-03 Black Sapphire Dragon dan RM 56-02 Blue Sapphire Unique Piece melalui butik resmi yang beroperasi di Jakarta.
Model-model ini bukan sekadar langka, tetapi juga termasuk edisi dengan fitur mekanik dan material paling ekstrem: kaca safir penuh, skeleton movement, dan buatan terbatas. Harga totalnya mencapai SGD 6,9 juta, atau setara lebih dari Rp80 miliar.
Selama lebih dari dua tahun, Tony melunasi pembayaran tersebut secara bertahap. Semua komunikasi dan transaksi dilakukan melalui satu pintu: butik Richard Mille di Jakarta. Ia tidak pernah berhubungan langsung dengan pihak lain, apalagi perusahaan di luar negeri.
Sebagai kolektor senior, ia tahu bahwa urusan pembelian jam tangan sekelas ini menuntut kesabaran dan ketelitian. Tapi yang tidak ia bayangkan, proses ini justru akan membawanya ke meja hijau.
Masalah muncul setelah pelunasan. Tony diberitahu bahwa kedua jam tangan tersebut harus diambil di Singapura melalui Richard Mille Asia Pte. Ltd. Sebelumnya, dalam pengalaman-pengalaman pembelian jam Richard Mille yang ia lakukan melalui butik yang sama di Jakarta, penyerahan barang selalu dilakukan di Jakarta.
Bagi Tony, ini bukan hanya persoalan logistik. Ini menyangkut prinsip dasar: apakah pihak yang melakukan transaksi boleh tiba-tiba mengalihkan tanggung jawab penyerahan.
Ia pun memutuskan mengambil langkah hukum.
Ketika Barang Mewah Tak Lagi Aman
Pada tahun 2024, Tony mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Perkara ini tercatat dengan Nomor 844/Pdt.G/2024/PN Jkt.Utr. Dalam gugatan itu, tim hukumnya menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran hak konsumen yang serius.
Heroe Waskito, Managing Partner dari Catra Indhira Law Firm dan kuasa hukum Tony, menilai bahwa praktik ini bisa menjadi preseden buruk bagi transaksi barang mewah di Indonesia.
“Klien kami telah menyelesaikan seluruh kewajibannya secara tertib dan resmi sesuai arahan dari butik di Jakarta. Tapi setelah lunas, ia justru diarahkan ke luar negeri. Ini tidak bisa dianggap wajar,” ujar Heroe, Jumat 16 Mei 2025.
Ia menambahkan, jika praktik seperti ini dianggap lazim, maka konsumen tidak lagi memiliki perlindungan. “Hari ini bisa jam tangan, besok bisa barang koleksi lain. Padahal nilainya tidak kecil,” tambahnya.
Mediasi Buntu, Persidangan Berlanjut
Seperti umumnya perkara perdata, pengadilan mencoba membuka jalur mediasi. Namun pada April 2025, proses mediasi itu dinyatakan gagal. Tidak ada kesepakatan yang bisa dicapai antara para pihak. Dengan demikian, sidang berlanjut ke tahap pembuktian.
Kuasa hukum Tony menyatakan tidak keberatan untuk menghadapi seluruh proses pembuktian di pengadilan. Mereka mengaku telah menyiapkan dokumen lengkap: bukti pembayaran, percakapan tertulis, hingga detail administratif yang membuktikan bahwa seluruh transaksi memang dikelola dan dijanjikan melalui Jakarta.
“Ini bukan sengketa antara individu dengan merek global. Ini sengketa antara konsumen dengan praktik distribusi yang kami nilai tidak transparan,” kata Heroe Waskito.
Ia menegaskan, pihaknya tidak sedang mempermasalahkan kualitas jam atau keaslian barang, tapi soal tata kelola transaksi dan hak konsumen untuk mendapatkan kepastian yang sah.
Konsumen Ditengah Sistem Global
Apa yang dialami Tony memunculkan pertanyaan lebih luas: bagaimana perlindungan konsumen dalam transaksi barang mewah lintas negara? Di banyak kasus, pembeli barang bernilai tinggi mobil sport, karya seni, jam tangan edisi terbatassering kali dianggap sebagai pihak yang paham risiko. Tapi seberapa besar risiko yang wajar, jika bahkan proses dasar seperti penyerahan barang pun bisa berubah sepihak?
Dalam konteks itu, perkara ini bukan hanya soal Tony dan dua jam tangan. Ini tentang bagaimana sistem distribusi global beroperasi di negara berkembang, dan sejauh mana mereka patuh pada prinsip keterbukaan dan keadilan konsumen.
Persidangan masih berlangsung. Belum ada vonis, dan belum tentu perkara ini berakhir di tingkat pertama. Tapi yang sudah pasti: perlawanan Tony membuka ruang diskusi yang sebelumnya jarang terdengar tentang etika bisnis barang mewah, hak konsumen bernilai tinggi, dan pentingnya tanggung jawab penuh entitas yang menjalankan aktivitas resmi atas nama merk.
Jam tangan bisa bernilai miliaran. Tapi dalam sistem hukum, nilai yang dipertaruhkan bisa jauh lebih besar: kepercayaan, kepastian, dan hak yang harus ditegakkan, tak peduli berapa harga barangnya. (upi/zil)
Discussion about this post