PUTRA asli Pulau Buru, provinsi Maluku, Sami Latbual membantah apa yang disampaikan sejumlah peneliti maupun Kantor Bahasa Daerah Provinsi Maluku yang menyatakan dan mempublikasikan bahwa ada beberapa bahasa di Pulau Buru yang telah punah.
Bantahan ini disampaikan Latbual kepada wartawan di Namrole, Senin (31/10/2022).
“Menyikapi beberapa pernyataan maupun apa yang dipublikasikan oleh Kantor Bahasa Maluku terkait dengan beberapa bahasa daerah di Maluku termasuk Pulau Buru dimana pernyataan atau yang terpublikasi di media menjelaskan bahwa ada beberapa bahasa di Pulau Buru yang telah puna adalah tidak tepat,” ucap Latbual.
Kata Latbual, jika disebut bahasa Buru terancam punah itu baru benar dan semua pihak sepakat karena dalam fakta keseharian pun orang – orang sudah tidak menggunakan bahasa Buru dengan murni tapi sudah bercampur dengan bahasa Indonesia.
Bahkan ada anak-anak muda Pulau Buru yang sudah tidak bisa lagi berbahasa Buru dan saat ini ada sebagian kosa kata dari bahasa Buru yang sudah tidak digunakan atau sudah kurang digunakan. Bahkan kedapatan, ada orang tua sekalipun sudah menggunakan bahasa Buru bercampur dengan kosa kata bahasa Indonesia.
“Kalau sebut Bahasa Buru terancam punah itu saya sepakat dengan berbagai alasan yang sudah disampaikan tadi,” ujar Latbual.
Namun yang membuat Latbual keberatan adalah ada sejumlah peneliti dalam ulasannya menjelaskan ada beberapa bahasa di Buru yang telah hilang alias punah seperti Bahasa Kayeli, Bahasa Hukumina dan Bahasa Palumata.
“Dapat saya jelaskan bahwa Keyeli, Hukumina dan Palumata tidak mempunya bahasa tersendiri tetapi yang disebut dengan Kayeli, Hukumina dan Palumata adalah wilayah-wilayah kekuasaan yang dulu di bentuk jaman Belanda yang namanya Rehensab. Sehingga ada Rehensab Hukumina, ada Rehensab Palumata dan mereka menggunakan bahasa Buru tidak ada bahasa Hukumina ataupun Palumata,” terang Latbual.
Dia menjelaskan, saat ini Rehensab Hukumina sudah tidak ada, begitu juga dengan Rehensab Palumata karena pada waktu itu Belanda memperkecil wilayah-wilayah kekuasaan sehingga yang tadinya sekian belas Rehensab itu kemudian diperkecil. Sehingga di Buru tinggal 7 Rehensab di tambah Ambalau menjadi 8 Rehensab.
“Sedangkan Rehensab Hukumina, Palumata, Tomahu, Lumamiti dan beberapa rehensab lainnya itu sudah tidak ada lagi. Jadi mereka tidak punya bahasa sendiri tapi kita menggunakan satu bahasa yaitu bahasa Buru,” paparnya.
Lanjutnya, jika mereka (peneliti-red) mengatakan bahwa bahasa Keyeli itu sudah punah itu sangat tidak tepat karena sampai saat ini dirinya dan marga-marga yang masuk dalam petuanan Kayeli asli masih menggunakan bahasa Buru.
“Contohnya saya Latbual, asli Buru dalam pembagian kewilayahan kami Noropito asli Kayeli dan sampai saat ini masih menggunakan bahasa Buru,” tegasnya.
Kalau mereka melakukan penelitian di Negeri Kayeli, sambung Latbual, dan tidak mendapati warga yang sudah tidak menggunakan bahasa Buru atau ada yang tidak tahu berbahasa Buru mungkin itu hanya di negerinya, tapi kalau petuanan secara keseluruhan kami masih menggunakan bahasa dan bahasa yang yang digunakan hanya satu yaitu bahasa Buru bukan bahasa Kayeli.
“Ini yang perlu kami tegaskan, tidak ada bahasa Kayeli, bahasa Hukumina, maupun bahasa Palumata,” tegas Latbual.
Dirinya memperkirakan, mungkin saja para peneliti mempunyai gambaran dengan beberapa kosa kata yang mungkin menurut mereka berbeda padahal sesungguhnya tidak ada yang berbeda tapi hanya penggunaan dialeg pelafalan saja yang agak sedikit berbeda.
Ia mencontohkan, ada beberapa warga asli Pulau Buru yang berdomisili di dataran rendah menyebut kepala itu Ulun, sementara masyarakat Buru menyebut kepala itu Olon dan bahasa Buru kepala itu Olon tapi itu karena kebiasaan ucapan dialeg mereka.
“Contoh lain juga seperti jalan itu Tohon, itu bahasa Buru tapi saudara-saudara kami dataran renda menyebut itu Tuhun. Bagi kami itu sedikit beda dalam lafal ucapnya jadi mereka tidak bisa bilang kalau bahasa Kayeli sendiri, bahasa Buru sendiri itu sangat tidak tepat,” tekan Latbual.
“Saya dapat menyampaikan sanggahan kepada siapa pun baik itu bagi para peneliti, baik itu narasumber yang memberikan informasi kepada para peneliti karena sesungguhnya di Buru tidak ada yang namanya bahasa Kayeli, bahasa Hukumina dan bahasa Palumata. Sehingga kami meminta pernyataan yang telah terpublikasi dengan mengatakan ada beberapa bahasa di Buru sudah punah itu tidak benar dan kami bantah hal itu,” tambahnya.
Ia kembali menekankan bahwa Untuk Kayeli, Palumata dan Hukumina tidak memiliki bahasa sendiri-sendiri tetapi hanya menggunakan bahasa Buru.
“Sekali lagi kami tegaskan bahwa Palumata, Hukumina tidak punya bahasa sendiri sebab mereka itu nama wilayah atau petuanan yang dibentuk Belanda dan sampai saat ini kami masih menggunakan satu bahasa yaitu bahasa Buru,” tegasnya lagi.
Menurutnya, orang-orang atau marga-marga yang dulu berdomisili di petuanan Hukumina sampai sekarang masih ada. Petuanannya sudah tidak ada tetapi orang-orangnya masih ada dan masih menggunakan bahasa Buru. Begitu juga dengan marga-marga yang berdomisili di Palumata, petuanannya sudah tidak ada tapi orangnya masih ada dan sampai sekarang mereka masih menggunakan bahasa Buru.
Lebih jauh Latbual menjelaskan, untuk Pulau Buru memiliki satu bahasa yang sama yakni bahasa Buru. Ada bahasa lain selain bahasa Buru yang disebut bahasa Garan. Dimana bahasa Garan ini adalah bahasa yang bukan hanya digunakan oleh manusia tetapi satwa yang ada ditempat itu juga menggunakan bahasa tersebut.
“Bahasa ini hanya digunakan di tempat sekitar Garan itu dan tidak digunakan oleh semua orang, hanya orang-orang tertentu yang menggunakannya pada saat berada di lokasi sekitar situ. Jadi hanya ada dua bentuk bahasa itu. Kalau ada yang katakan bahasa ini dan bahasa itu punah di pulau Buru itu sangat tidak tepat tapi kalau bilang bahasa buru terancam puna saya setuju,” pungkasnya.
Dikesempatan itu, Latbual mengajak semua pihak untuk menjaga dan melestarikan bahasa Buru dan menggunakan bahasa Buru secara tepat dan benar tanpa mencampur adukan bahasa Buru dengan bahasa Indonesia atau bahasa lainnya.
“Saya mengajak semua pihak untuk melestarikan bahasa Buru yang kita miliki dan dengan tegas saya sampaikan bahwa apa yang disampaikan terkait beberapa bahasa yang puna itu tidak benar. Kita jangan ikut – ikutan membenarkan segala sesuatu yang tidak benar,” tandasnya. (afg/elv)
Discussion about this post