SAYA dilahirkan, dibesarkan dan hidup di lingkungan kebudayaan Jawa dan mendapat pendidikan antropologi.
Saya terpanggil untuk menyampaikan pendapat yang berkaitan dengan soal hubungan seks yang pada hakekatnya merupakan salah satu insentif bagi manusia untuk mengembangkan keturunan dan menguasai semesta beserta segala isinya.
Karena itu tidak satupun kaum, suku bangsa ataupun bangsa yang mengabaikan soal seksual di muka bumi ini. Hanya saja ada kebudayaan yang didominasi oleh urusan seks. Sehingga masyarakatnya percaya kalau sudah matipun masih bisa menikmatinya.
Untuk dipahami, walaupun kenikmatan seksual itu merupakan bawaan hidup setiap insan, namun dalam kenyataan ia tidak bebas dalam penikmatannya seperti ayam atau kambing yang biasa kita lihat sehari-hari.
Begitu pula ada hewan yang secara naluri, maksudnya bukan karena kendali nilai-nilai budaya seperti pada manusia, mereka tunduk pada musim “kawin”.
Hubungan seksual pada manusia pun tidak bebas dari berbagai sistem nilai budaya norma dan pranata sosial yang dikembangkannya. Pada masyarakat pra industrial yang belum menerapkan teknologi produksi, kebutuhan akan banyak tenaga kerja manusia sangat tinggi.
Karena itu mereka mengembangkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kesuburan. berbagai simbol, perilaku dan norma pranata sosial berkembang mengikutinya.
Mohon maaf, wanita yang mempunyai pinggul dan kantong air kehidupan atau payu dara besar merupakan idaman bukan hanya bagi setiap lelaki, melainkan juga bagi masyarakat luas. Sebaliknya ada juga kebudayaan yang kurang menghargai wanita yang tidak memiliki potensi untuk mengembankan keturunan dan cenderung untuk dibiarkan bunuh diri terjun ke jurang.
Di Bali dimana masyarakatnya didominasi nilai-nilai budaya yang menghargai tinggi kesuburan diabadikan dalam patung Ni Brayut dengan 8 putra-putrinya yang bergelantungan.
Penghargaan terhadap potensi kesuburan itu juga diberikan kepada kaum pria dengan berbagai simbul maupun patung kemaluan lelaki yang amat luas persebarannya di Indonesia sejak masa megalitikum.
Nilai nilai budaya itu menjadi acuan bagi masyarakat pendukungnya untuk mengembangkan pranata sosial ketika pergaulan. Masyarakat bukan hanya harus menghafal nilai-nilai nilai budaya, melainkan juga menghayatinya untuk diwujudkan dan diungkapkan (manifested n expressed) dalam pola pikir dan kegiatan sehari-hari.
Oleh karena itu semua masyarakat mengembangkan pranata sosial disertai norma-normanya untuk mengatur bukan melarang hubungan seksual antar lelaki dan perempuan dengan segala potensi biologis maupun sosialnya. Mengingat insentif kenikmatan alami di samping dorongan nilai budaya, maka manusia mengembangkan macam-macam aturan untuk mengendalikannya dalam arti positif.
Pada kebudayaan Jawa di masa lampau, ada lembaga “gowokan” yang mengajari remaja pria untuk menyalurkan dorongan seksual secara wajar dalam arti budaya. Remaja itu ditemani tidur oleh wanita senior dalam kamar sempit hanya cukup untuk berdua semalaman. Disitulah, zaman kolonial dulu memang belum ada istilah seksual relation consent, tetapi itu dilakukan secara tertib dan dibenarkan oleh masyarakat sebagai, istilah bergaya masa kini, seks education.
Setelah mahir tentunya si remaja putra bisa lanjutkan latihan di luar. Akan tetapi ada yang bangga bahwa pada masa itu tertib hubungan seks di kalangan masyarakat. Buktinya tidak tercatat kejadian hamil di luar nikah. Pernyataan itu ada benarnya, karena gadis gadisnya suka di pingit dan keburu dinikahkan sebelum masak.
Sesungguhnya, menurut catatan etnografi, beberapa suku bangsa di Indonesia membiarkan, kalau tidak membenarkan, hubungan seks di luar nikah. Sudah barang tentu, sebagai makhluk budaya, kenyataan itu tidak lepas dari “puncak puncak kebudayaan lama dan asli” yang mereka junjung.
Nilai-nilai budaya yang menghargai tinggi kesuburan, mendorong masyarakatnya untuk mempersiapkan diri dengan berbagai cara dan sarana sosial. Saya mencatat bagaimana remaja putra dan putri mulai menjalani sosialisasi untuk mempersiapkan diri menjadi anggota penuh masyarakatnya melalui permainan yang berlanjut dengan kencan di luar gubuk sosialisasi.
Kencan pertama berlanjut, kalau memang jodoh dan cocok. Hubungan pertemanan disertai latihan luar dalam. hingga ke jenjang perkawinan.
Hubungan seks di luar nikah itu juga di maksud untuk mematangkan sel telur wanita agar tidak terlalu lama menunggu kehamilan setelah menikah.
Pematangan itu diperlukan agar potensi pengembangan keturunan tidak terhambat, itu alasan yang saya peroleh. Akan tetapi seringkali pranata “pre marital seksual union” istilah asing agar meyakinkan, antar pasangan tetap itu seringkali disalah artikan sebagai “free seks” oleh pihak luar yang merasa lebih beradab. karena itu mereka cenderung ikut nimbrung kesempatan tersebut.
Di masa kolonial ada juga pembiaran hubungan seks di luar nikah sebagai persiapan untuk berumahtangga. Apa yang terlarang adalah kehamilan di luar nikah yang dipercaya akan menimbulkan “sebel” atau sial. Untuk mengatasinya, gadis yang hamil di luar nikah harus segera dikawinkan dan disertai pensucian untuk membuang sial.
Larangan hubungan seksual di luar nikah itu seperti petuah “jangan sekali-kali babuak zina, takacuali suko sama suko” memang kebudayaan itu pada intinya merupakan seperangkat nilai budaya sebagai kerangka acuan bagi masyarakat pendukungnya dalam mensikapi tantangan dan peluang. biasanya menyediakan pilihan strategi dan jalan keluar apabila tornado pelanggaran.
Apa yang perlu diingat, hubungan seks itu mempunyai banyak fungsi sosial disamping fungsi biologis. Disamping kenikmatan fisikal, juga kepuasan spiritual. akan tetapi jangan dilupakan fungsi sosial dalam mengembangkan keturunan dan memperluas jaring sosial. Karena itu masyarakat tidak boleh melupakan fungsi edukatif sebagaimana tercermin dalam peraturan Mendikbud. Masalah hukumnya serahkan kepada pihak yang berwenang.
Penulis adalah Profesor Subur Budisantoso pakar antropologi. Lahir di Garut, 27 Agustus 1937. Almamater: Universitas Indonesia, Monash University
(yul/lif)